Senin, 07 Oktober 2013

AGAMA DAN MASYARAKAT



AGAMA DAN MASYARAKAT
Para pendiri agama maupun para pengikut serta para penganut baru sering datang dari berbagai latar belakang social jelasnya dari segala ragam kelas strata, atau sejenisnya, karena kelompok tersebut mempunyai perbedaan fungsi, dengan demikian juga menerima perbedaan dari masyarakat, maka merekapun memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kondisi dan gaya hidup yang tidak sama tetap pula melahirkan pandangan, kebutuhan, tanggapan struktur motivasi yang beraneka.beberapa prinsip keagamaan akan menunjukkan secara jelas kaitan-konkrit antara kebutuhan dan pandangan kelompok tertentu saja ketimbang kelompok lain yang kadangkala kepentingannya tak tercermin sama sekali.
 Karena itu kebhinakaan kelompok dalam masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan keagamaan. Akibatnya, bagi sosiologi agama terbentang lapangan studi yang maha luas khususnya yang menyangkut hubungan antara agama dengan struktur social. Tetapi disini terjadi dua hubungan dua arah. Tak hanya kondisi social saja yang menyebabkan lahir dan menyebarnya ide serta nilai-nilai, tetapi bila ide-ide dan nilai telah terlembaga maka ia mempengaruhi tindakan manusia. Karena itu sosiologi agama tidak hanya harus mempelajari pengaruh struktur terhadap agama, tetapi juga harus mempelajari pengaruh agama terhadaap struktur social.
Kelompok yang demikian jelas akan memperlihatkan bentuk kepekaan agama yang berbeda, masing-masing kelompok akan menafsirkannya sesuai dengan kondisi kehidupan yang dihadapi. Cara merasakan "titik kritis" yang terkandung dalam masalah ketidak pastian, ketidak berdayaan dan kelangkaan akan berbeda dari satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Durrkheim menggunakan istilah anomi untuk menunjukkan keadaan disorganisasi social dimana berbagai bentuk social dan cultural yang telah mapan ambruk. Ia berbicara tentang dua aspek dari masalah ini. Pertama hilangnya solidaritas yaitu apabila kelompok-kelompok lama  dimana individu mendapatkan rasa aman dan respon cenderung ambruk, kemudian hilangnya consensus; yaitu tumbangnya persetujuan terhadaap nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok. Durkheim memandang hal ini sebagai dua sisi dari satu proses disorganisasi social, dia menyatakan kedua sisi itu dapat mengalami disorganisasi dalam tingkat kecepatan yang berbeda. Akibat proses itu bagi individu ialah suatu kondisi yang secara relatief terpencil dan "tanpa norma" yang disebut Durkheim sebagai keadaan "anomi"
AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL
Dua Kesimpulan penting berkenaan dengan hubungan antara agama dan stratifikasi social diperoleh dari hasil penelitian Max Weber tentang agama-agama dunia yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam, hindu, Budha, Konfusianisme, dan Toisme suatu hubungan yang jelas dan dapat diamati diantara posisi social dengan kecenderungan menerima pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedua, ini bukanlah suatu penentuan yang tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi social.
Kita akan memperoleh pandangan yang lebih konkrit tentang apa yang terdapat dalam hubungan agama dengan stratifikasi social jika kita memperhatikan apa yang harus dikatakan Weber tentang agama dari berbagai kelas yang diamatinya. Kelas menengah lebih renggang hubungan dengan  alam dari para petani, karena mereka lebih memikirkan ekonomi. Karena itu, mereka menangani situasi kehidupan memberi kemungkinan berupa kemampuan memperhitungkan dan manipulasi secara sengaja.

Beralih Agama (Konversi)
            Ada tiga  masalah pokok yang tampak dalam pembahasan Weber dan Durkheim diatas, pertama kecenderungan masyarakat pada doktrin keagamaan tertentu sangat dipengaruhi oleh kedudukan kelas penganutnya. Kedua, beberapa ide agama mencerminkan karektristik kondisi manusia yang sangat universal dan karenaya mempunyai daya tarik luas yang mentrandensikan pembagain stratifikasi social. Ketiga, perubahan social, khususnya diorganisasi social, yang mengakibatkan hilangnya consensus budaya dan solidaritas kelompok, dan membuat manusia berada dalam situasi "mencari komunitas" yakni pencarian nilai-nilai baru yang akan menjadikan panutan mereka dan kelompok-kelompok dimana mereka akan bergabung.
            Doktrin-doktrin baru yang diprokalamirkan oleh seorang pemimpin kharismatik atau para missioner pengikutnya sebenarnya merupakan campuran unsur baru dan unsur lama yang kompleks. Mereka tak akan mendapatkan penganut baru kecuali kalau mereka telah berhasil menagkap jalan fikiran manusia-manusia itu yang dalam beberapa hal sebenarnya sudah siap menerima gagasan baru.
            Sebagian besar mereka yang beralih agama Kristen misalnya berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang yang menikmati perolehan peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu. Tentang orang-orang yang beralih agama juga di jumpai pula dikalangan yang paling miskin, dan dalam perjalanan waktu peningkatan juga terjadi dikalangan atas. 
Agama Sebagai Ideologi Transisi
            Pada masyarakat tradisional, tujuan individu dan kelompok, dan bahkan tujuan masyarakat itu sendiri, telah ditetapkan dan diakui sejak dulu. Bila karena perbauran dengan kebudayaan lain atau perkembangan lain yang internal pada suatu masyarakat, timbul tujuan baru dan nilai baru, maka kepemimpinan masyarakat berada dalam keadaan yang membutuhkan ideology untuk menjelaskan dan merasionalisir tujuan dan nilai baru yang mendukungnya. Proses ini sering melibatkan lahirnya kelompok penguasa baru.
            Dewasa ini di Negara berkembang, pemimpin nasional dalam upaya menjelaskan pada diri mereka sendiri dan pada orang lain dan untuk membenarkan perubahan yang mereka perkenalkan serta usulkan di negrinya, telah membuat pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada penafsiran sejarah mereka yang akan memperkuat tujuan-tujuan dan membenarkan tindakan mereka. Statemen keyakinan dan nilai ini disebut ideology dalam arti " menanamkan kometmen emosional oleh pemimpin pada pengikutnya dan dirancang kearah tindakan ".  Dengan demikian, ideology nasionalisme dan sosialisme menjelaskan dan membenarkan transisi dan arah yang ada didalamnya.
                 Seorang  sejarawan menulis, sebenarnya hanya melalui wewenang agama universal yang baru monarki nasional mendapatkan wibawa yang diperlukan untuk mengatasi konservatisme kebudayaan lama para petani dan kemerdekaan kerajaan penduduk asli yang lama. Kebutuhan elit baru ini dan rakyat yang sedang berada dalam transisi akan ideologi mirip dengan kebutuhan mereka yang menderita anomi akan satu system nilai dan komonitas yang baru.
            Sebenarnya kedua kebutuhan ini sering dijumpai secara bersama-sama, sementara pemimpin muncul dengan ketagihan untuk merumuskan satu definisi misi untuk mengetahui bagaimana bertindak dalam situasi yang dihadapi dan untuk mengesahkan diri mereka sebagai pemimpin, para pengikut yang sedang menderita anomi akibat perubahan sosial berusaha mencari nilai-nilai baru yang akan menjadi anutan dan kelompok-kelompok dimana mereka bisa diterima sebagai anggota.
            Jadi dalam gerakan yang berdasarkan ideologi apakah itu bersifat keagamaan atau sekuler para pemimpin mengenalkan "ideology transisi" yang diperlukan, sedangkan para pengikut ( dan sering pula para pemimpin ) menemukan kepuasan dalam usaha pencarian komonitas dan nilai-nilai baru.

Daftar buku bacaan: “SOSIOLOGO AGAMA”suatu pengantar awal
(THOMAS F.O’DEA).               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar