Kamis, 03 Oktober 2013

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM KAJIAN ISLAM




A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang
Munculnya pendekatan dalam kajian Islam secara langsung menggaris bawahi adanya penilaian di kalangan sarjana bahwa hubungan antara studi Islam dengan studi agama tidak produktif. Persoalan pendekatan kajian Islam dalam buku Approaches to Islam in Relegious Studies suntingan Richard C. Martin ini adalah salah satu upaya untuk memberikan contoh khusus di mana data Islam, problem pemahaman terhadap data, serta relevansinya bagi perkembangan pemahaman terhadap kitab suci (scripture) bisa dikembangkan lebih sistematis. Dalam kajian keagamaan, yang terjadi selama ini, kitab suci selalu menjadi salah satu kategori taken for  granted yang digunakan setiap orang sebagai sumber utama.
Meskipun demikian, penempatan kajian keagamaan tidak selamanya menerapkan analisis historis-kritis, kritik teks, dan bahasa pada teks utama dari agama-agama dunia, termasuk tradisi yang dimilikinya. Implikasinya, kajian yang ada sering tidak bersifat komprehensip. Untuk mengeliminasi persoalan tersebut, pendekatan kajian keagamaan harus diletakkan pada data otentik, rekonstruksi proses penyusunan teks analisis teks demi informasi historis kontemporer,  data meneliti gagasan-gagasan kunci dalam teks dan menelusuri sumber-sumbernya. Di antara persoalan yang akan dibahas dan dijembatani  oleh pendekatan fenomenologi agama adalah bagaimana cara mengembangkan analisis dan pencarian data-data keagamaan yang bersumber pada kitab suci secara komprehensip.
Masalah pendekatan dalam kajian Islam telah menjadi perhatian banyak islamicsts (sarjana di bidang studi Islam atau Islamic Studies). Pada mulanya kajian Islam hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam konteks history of religions, comparative study of religios atau religions wissenschaft pada umumnya. Model penghampiran terhadap Islam lebih banyak menggunakan metode kesejarahan (historical) dan filologis yang menekankan analisis tekstual (textual analysis). Namun, dalam perkembangannya kemudian muncul berbagai pendekatan baru yang memberikan peluang bagi tumbuhnya pemahaman (undestanding) lebih komprehensif terhadap Islam.
Namun, yang terasa lebih spesifik dari karya suntingan Richard C. Martin ini,  yang sarat dengan muatan metodologi ini adalah upayanya untuk membawa dan mengangkat islamic studies keluar dari jeratan dan jebakan historis-kulturalnya sendiri ke wilayah arus besar pusaran ilmu agama (religion wissenschaft) yang berkembang sejak abad ke 19 dengan berbagai perangkat metodologi yang dimilikinya. Upaya demikian diharapkan dapat menjembatani kesenjangan metodologis antara Islamaic Studies dan relegionwissenschaft yang masih terasa hingga saat sekarang ini dapat sedikit teratasi.[1]
Agama adalah eksperesi yang bermcam-macam dan juga merupakan respon seserorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapanya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sarana penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya[2]. Persoalannya, agama tidak konstan akan tetapi selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, dalam arti keduaya saling mempengaruhi.
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodelogis dalam studi islam atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari pakar intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi dan melalui menifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.

B.     Rumusan masalah
Supaya penulisan makalah  tidak keluar dari pembahasan, maka dibutuhkan rumusan masalah. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam kajian Islam?
C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk mendeskripsikan pendekatan fenemonelogi dalam kajian islam

B.     Pembahasan
1.       Pengertian fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata phainein yang berarti memperlihatkan dan phainemenon yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, Sehingga dapat diartikan beck to the things themselves atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijono, kata fenomena berarti penampakan seperti pilek, demam, dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit[3].
Istilah fenomenologi diperkenankan oleh seorang filusuf dan matematikawan berkembangsaan Swiss-Jerman Johan Heinbrich Lambert dalam bukunya Neues Organon yang diterbitkan pada 1764. Lambert memaknai istilah yunani tersebut dengan pengertian The Setting Forth or Articulation of What Shows Itself (pengaturan artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Lambert menggunakan istilah ini untuk mengilustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan[4].
Immanuel khant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.
2.       Beberap Pandangan Tentang Fenomenologi
1.       G.W.F. Hegel
Dalam bukunya The Phenomenologi of the Spiru yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenonmenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu pengetahuan menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu.
Proses tersebut mngantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenologi melalui sians dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut”. Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui peyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen).
Hegel menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu berbeda[5].
2.       Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filusuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan folisofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya Logische Unterschungen, Ideen zu einer reinen Phanamenologi, Formale und transzedentale logic, dan Erfahrung und Urteil,  Husserl mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa science alone is the ultimate court of appeal (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup Life experiences dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tetntang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana ia kemudian memunculkan istilah ‘reduksi fenomenologi’. Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada obyek-obyek yang non eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat ‘pengurangan sebuah kebenaran’, yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari obyek yang dipikirkan.
Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua kosep tersebut adalah epoche dan eidetic vision.
a)             Epoche vision. Kata epoche berasal dari bahasa yunani berarti menunda semua penilaian atau pengurangn (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-banar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
b)             Eidetic vision berarti ‘yang melihat’ atau pengandaian terhadap ephoche yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut[6].
c)             Menurut penjelasan Elliston, phenomenology then means..to let what shows  itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself (fenomenologi dapat berarti membiarkan apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan darinya sendiri). Untuk itu Husserl menggunakan istilah ‘intensionalitas’, yakni realitas yang menampakkan diri dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa adanya.
3.       Alfred Schutz
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodelogi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretative. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah ‘the stream consiousness’ (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam dapat dijangkau dengan mereflesikan menemukan sumber tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen)[7].
3.      Fokus Fenomenologi Agama
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengamalan keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan obyek yang diteliti. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normative dengan berupaya mendeskripsikan pengalamam-pengalaman agama dengan akurat[8].
A method adopting the procedures of ephoce (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to the meaning of relegion) to the study of the varied of symbolic expressions of that wich people approprioriately respond to as being unrestricted value from them (sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur ephoche[penundaan penilaianpenilaian sebelumnya] dan institusi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka)[9].
Menurut Neong Muhajir, secara ontology pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logic, etik, transendental)[10]. Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan manafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran subtansinya[11].
Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan obyektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural science) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value buond) seperti kemanusiaan dan keadilan[12]. Beberapa tokoh yang memiliki peranan besar mengembangkan pendekatan ini diantaranya:
a)        Piere Daniel Chantepie de la Sausseye
Saussaye menggunakan fenomenologi agama sebagai sebuah kajian kompratif dimana cara kajiannya adalah dengan mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu esensi dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia menggunakan sejarah agama untuk kemudian dianalisisa berdasarkan konsep-konsep filsafat. Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan hanya menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan pendekatan filosofis[13].
b)William Brede Kristenen
Dalam pandangan kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari ‘makna’ fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup lama dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman[14].
c)       Gerardus Van der Leeuw
Dalam kritiknya terhadap Kristenen, Van der Leeuw melihat pemahaman sebagai aspek subjektif dalam fenomenologi yang secara inheren (menyatu) terjalin dari obyektifitas sebuah manifestasi. Van der Leeuw mengkorelasikan pengalaman subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga level objektif penampakan yaitu relatifitas penyembunyian, relatifitas transparansi dan secara berangsur-angsur (gradual) menuju manifestasi. Fenomenologi agama Van der Leew disadari tiga bagian fundamental yaitu: Tuhan - manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam hal ini hubungan antara Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang mendasari pemikiran Van der Leew[15].
Menurut Van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga hal prinsip yang tercakup di dalamnya adalah:
1.      Sesuatu itu berujud
2.      Sesuatu itu tampak
3.      Karena sesuatu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat[16], tanpa melakukan modifikasi. Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga menurut fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dinyatakan J.B. Connant, bahwa: The scientific way of thingking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles[17]. (cara berfikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi klenyataan dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun).
            Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
1.      Fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama nyang bisa diamati.
2.      Fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbdeda.
3.      Fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
Di sini pelu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memilki kesamaan dengan objek yang sebagai realitas di alam semesta.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsure jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu manapun.
4.       Langkah operasional dalam Fenomenologi Agama
Berdasarkan faham fenomenologi terbentuknya pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya Relegion in essence and manifestation:  A study in phenomenology of religion[18] :
1.      Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festifal dan mitos[19]. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.      Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagaman yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.      Melakukan ephoce atau menunda penilaian (menjamin istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
4.      Mencari hubungan structural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistic tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.      Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan ‘realitas’ atau menifestasi dari sebuah wahyu.
6.      Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.
5.      Beberapa hal positif dalam Fenomenologi Agama
Fenomena agama islam merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesiffik termasuk fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi agama diantaranya[20]:
1.      Fenomenologi agama berorientsi pada factual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluative aka tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, symbol, ibadah (individual atau seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.      Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-perseolan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.      Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4.      Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transcendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.      Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Femenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.      Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.
Menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
1.      Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religion wissenschaft)
2.      Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya (sosiologi, antropologi, sejarah dst).
3.      Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah,  kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap symbol dan ajaran agama[21].
Penelitian agam tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami[22].
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekata metodelogis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-displin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat, psisikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
6.      Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Kaum fenomolog menerapkan metode penjelasan (verstehen) terhadap pelbagai manifestasi keagamaan pada semua kebudayaan. Dengan metode ini, para sarjana akan menghindari penilaian (judgment) terhadap nilai-nilai dan kebenaran data keagamaan yang diteliti. Tujuannya ialah untuk menangkap esensi (eidetic vision) yang ada dibalik fenomena keagamaan[23]. Apa yang dihasilkan oleh pendekatan fenomenologi adalah sangat penting untuk membuat teori konsekuensi metodologis untuk jangka panjang.
Pendekatan fenomenologi meletakkan pengalaman-pengalaman keagamaan sebagai respons terhadap realitas-realitas yang lebih dalam, betapapun realitas itu tak bisa dilukiskan. Dalam hal ini, agama dipandang tidak sebagai sebuah tahapan dalam sejarah evolusioner, tapi lebih sebagai aspek yang esensial dari kehidupan manusia. Dengan ungkapan lain, pendekatan ini berupaya menjembetani kesenjangan dan ketegangan antara dimensi “histories-empiris-partikular” dari agama-agama dan aspek keberagaman umat manusia yang mendasar dan universal-transendental[24]. Pendekatan fenomenologi memberikan tekanan pada pengungkapan tentang peranan makna dan agama dalam kehidupan manusia penganut agama.

Salah satu komponen penting dalam pendekatan ini adalah metode verstehen yang mengandaikan bahwa “manusia diseluruh masyarakat dan lingkungan sejarah mengalami kehidupan sebagai bermakna dan mereka mengungkapkan makna ini dalam pola-pola yang dapat dilihat sehingga dapat dianalisis dan dipahami. “Metode verstehen” ini dikembangkan dalam tradisi hermeneutic abad ke-sembilan belas, khususnya dalam studi budaya (Geisteswissenschaften) yang dimotori antara lain oleh Wihelm Dilthey (1833-1911)[25].
Tidak berbeda secara substansial dari pendekatan tersebut adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Wilfred Cantwell Smith, ahli studi agama dan Islam dari McGill University. Smith menyatakan bahwa obyek kajian ilmiah tentang agama (Islam) adalah keimanan (faith) yang diyakini oleh individu Muslim dalam konteks kehidupan nyata. Lebih lanjut, Smith membedakan dua wilayah penyelidikan: keyakinan (faith) pemeluk agama dan tradisi kumulatif di mana keyakinan tersebut muncul. Dia berpendapat bahwa teks-teks (keagamaan) sesungguhnya hanya menggambarkan sebagian dari keimanan tersebut, dan pembacaan terhadap teks-teks itu akan gagal memahami keimanan Muslim, jika penjelasan yang dihasilkan berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh kaum Muslim sendiri[26].
Karenanya, penyelidikan terhadap inter-relasi antara dua aspek keagamaan ini akan memberikan pemahaman yang memadai terhadap fenomena agama sebagai suatu keseluruhan. Dengan pendekatan ini, Smith bermaksud menunjukkan bahwa studi agama itu sangat kompleks, dan tidak bisa direduksi hanya kepada sebuah abstraksi konseptual dalam pikiran peneliti agama. Dia menekankan karakter agama sering berubah dan pentingnya mengaitkan berbagai jenis penyelidikan untuk berlaku adil terhadap perspektif orang dalam dan tujuan ilmu-ilmu sosial itu sendiri[27].
Salah satu contoh yang sangat baik dari penerapan pendekatan fenomenologis dalam studi Islam dapat dilihat pada Henry Corbin, seorang sarjana Perancis yang menekuni studi filsafat, tradisi Iran dan Islam Shi’ah[28]. Dalam konteks ini, fenomenologi dapat dipahami sebagai “unveiling or exposing to view something that was hidden” (menyingkap atau mengungkap untuk melihat sesuatu yang tersembunyi)[29]. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan hermeneutic terhadap agama (Islam Shi’ah di Iran). Corbin menganggap penting untuk menempatkan dirinya di tempat mereka (obyek) yang dikaji, untuk menjadikan pengalaman, persepsi dan reaksi mereka sebagai norma-norma untuk menjelaskan spritualitas  dia (peneliti) minati. Sarjana harus menjadi “tamu dalam alam spritual dari orang-orang yang diteliti dan menjadi alam itu sebagai miliknya sendiri.
Fenomenologi, menurut Corbin seperti dikutip Adams, merupakan kunci menuju sisi esoteris Islam. Ia adalah metode yang membuka rahasia-rahasia yang tersembunyi dari realitas yang lain, dan dalam peran ini fenomenologi sama dengan hermeneutika tehadap sifat yang mendasar dan mendalam dari spritualitas Islam. Fenomenologi atau hermeneutika Corbin bertujuan untuk mendemonstrasikan “makna” dari realitas eksoterik yang diyakini oleh orang-orang Shi’ah. Hermeneutic atau “fenomenologi spirit” dalam pandangan Corbin adalah ajaran-ajaran para Imam (Shi’ah), karena mereka-lah yang mendemonstrasikan makna rahasia dari wahyu, tapi yang hidup dan terus tumbuh dalam masyarakat.
Di sini tampak bahwa fenomenologi Corbin berbeda dari fenomenologi yang selama ini digunakan dalam studi agama sebagai disiplin akademis. Pendekatan histories dan filologis harus ditinggal dibelakang, dan digantikan dengan studi Islam yang menggabungkan pemahaman filosofis dengan kesadaran spritual personal sebagai dua komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam mengapresiasi fenomena Islam[30].
Dalam konteks ini, tugas fenomenologi adalah menyelamatkan kitab suci, seperti Al-Qur’an, dari “kematian” sejarah masa lalu, dengan menghadirkannya dalam pengalaman para pemeluknya. Ia harus direbut dari “historical time” dan kemudian dicangkokkan kedalam ‘existensial time’ dimana ia ‘hidup’ dan selalu berkembang bersama mereka yang meyakini kebenarannya.
Dengan demikian, makna Al-Qur’an sesungguhnya bersifat terbuka (open), karena makna itu tergantung kepada keputusan dan pilihan yang diambil oleh setiap individu untuk mengapresiasinya. Dalam what is scripture? Smith menyatakan bahwa makna yang sesungguhnya dari al-Qur’an tidak terletak pada teks, tidak pula makna yang ada dalam pikiran Tuhan. Sebaliknya, makna al-Qur’an terletak pada pemahaman, pikiran dan hati kaum muslim, karena makna al-Qur’an sesungguhnya adalah sejarah dari makna-maknanya, bersifat dinamis, kreatif, kompleks, dan bersinggungan dengan kehiduan para pemeluknya sepanjang berabad-abad di berbagai tempat[31].
Contoh lain yang eksplisit dari pendekatan fenomenologi terhadap Islam adalah karya Annemarie Schimmel, Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam. Schimmel percaya bahwa pendekatan fenomenologis sangat sesuai untuk memahami Islam secara lebih baik. Pendekatan ini berupaya masuk ke jalan agama dengan pertama-tama mengkaji fenomena, dan kemudian lapisan-lapisan (layers) yang lebih dalam dari respon manusia kepada yang bersifat ilahiyah (divine). Dengan pendekatan ini akan bisa dicapai inti suci yang paling dalam dari setiap agama (Islam)[32].
Dalam konteks ini, jika metode histories-filologis-melalui analisis tekstual mencari ‘maksud’ dari penulis teks-teks keagamaan, atau makna asli dari teks tersebut, dan strukturalisme bertujuan untuk menjelaskan suatu teks atau ritual semata, tapi lebih pada makna holistis-sinkronis, dari pada makna histories-diakoronis-nya, maka fenomenologi lebih memandang proses agama dari segi atau dalam hal pola hubungan stimulus atau respons (yang suci atau noumenal atau pemikiran, tindakan keagamaan), dan karena itu menganalisis respons atau pengalaman keagamaan sebagai bidang penelitiannya.
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:
1.      Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resistensi terhadap campur tangan peneliti, namun tidak mustahil seorang fenomenologi memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2.      Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3.      Peranan intuisi, kesulitan peneliti dalam hal ini adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term obyektif dan intuisi adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah obyektif.
4.      Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.

























Kesimpulan
1.      Pendekatan fenomenologi agama adalah pendekatan pada aspek pengalaman keagamaan, dan dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan.
Beberapa kelebihan dari fenomenologi agama diantaranya:
1.      Fenomenologi agama berorientsi pada factual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluative akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti ritual, symbol, ibadah (individual atau seremonial), teologi (lisan atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.      Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan persoalan-perseolan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.      Fenomenologi tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4.      Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transcendental dan mengabaikan intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.      Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman keagamaan. Femenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.      Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.


[1] M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, iv.
[2]Maria Susai Dhahavamony, Fenomenologi Agama  terj. Tim studi agama drikarya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 29
[3]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 140
[4] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Phenomenological Aproach to the study of religion a historical perspective, European jurnal of scientific research, vol, 44, no. 2, 2010, 267
[5] Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis  dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam khoiri, (Yogyakarta: Lkis, 2009), 110
[6] Ibid, 111
[7] Op cit, 269
[8] http://en. Wikipedia. Org/phonemonology of relion, dikutip, 23 Oktober 2011
[9] James L. Cox, Expressing the Sacred: An introduction to the phenomenology of religion (Harar: Univerrsity of Zimbabwe, 1992), 24
[10] Neong Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake sarasin,1989), 19
[11] Ibid, 183-185
[12] Ibid, 185
[13] Clive Erriker, Op cit, 113
[14] Ibid, 114
[15] Ibid, 115
[16] Jacques Waardenburg, Classical Approach to the study of religion (Paris, Mouton: the haque, 1973), 412
[17] James B. Connant, Modern Science and Modern Man, (Garden city: Doubleday Co., 1954), 19
[18] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, Op cit, 271
[19] Atho Mudzhar, Pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 13-14
[20] Op cit, 272-273
[21] Taufik Abdullah, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed), Metodelogi Penelitian Agama, Suatu pengatar  (Jogyakarta: Tiara Wacana, 2004), x-xii
[22]Mukti Ali, Metodelogi Ilnmu Agama Islam dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed), Metodelogi…, 56
[23] Martin. Approaches to Islam, 7
[24] M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama,iv.
[25] Tentang hermeneutic sebagai metode, filsafat dan kritik, lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneuitics : Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London and New Yirk : Routledge, 1980), 19,25,27,47.
[26] Martin, Approaches to Islam, 9
[27] Erricker, “Phenomenological Approaches,” 90
[28] Charles J. Ada, “The Hermeneutics of Henry Corbin,” dalam Approaches to Islam in Religius Studies, ed. Richard Martin (Tucson : The Arizona State University Press, 1985), 129-150
[29] Ibid, 143; mengutip Henry Corbin, En Islam Iranien I, xix-xx
[30] Ibid, 130. model pendekatan inilah yang mungkin disebut oleh Muhammad “Abid al-Jabiri sebagai nalar ‘irfani dalam episteme Islam. Muhammad “Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi : Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nizam al-Ma’rifah al-Thawafah al-Arabiyah. Cet. 3 (Beyrut : Markaz Dirasat al-wahdah al-Arabiyah, 1990), 251-270. Lihat M. Amin Abdullah, “al-Ta’wil al-‘ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” Al- Jami’ah vol. 39 No. 2 (July-December 2001) : 359-391.
[31] Wilfred Cantwell Smith, What is Scripture? A Comparative Approach (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 89-90. Lihat juga Wilfred Cantwell Smith. The True Meaning of Scripture: An Empirical Historion’s Non-Reductionist Interpretation of The Qur’an, International Journal of Middle East Studies (IJMES) 11 (July 1980): 504. Bab keempat dari What is Scripture? Pada mulanya adalah versi awal dari artikel di jurnal ini.
[32] Annemarie Schemmel, Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam (Albany: State University of New York Press, 1994), xii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar