Minggu, 06 Oktober 2013

PELAYANAN MUTU PENDIDIKAN ISLAM




PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini, dunia pendidikan dikagetkan dengan adanya suatu model pengelolaan pendidikan baru yang berbasis industri. Pengelolaan model ini mengandaikan adanya upaya pihak-pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih popular dan familiar disebut dengan istilah Total Quality Educations(TQE). Dasar dari manjemen ini dikembangkan dari konsep Total Quality Manajemen(TQM), yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis yang kemudian diterapkan pada dunia pendidikan.
Pada hakekatnya konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang sifatnya sustainable(berkesinambungan) untuk mencapai standart kebutuhan serta kepuasan dari pelanggan. Dalam prakteknya, strategi yang digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu ini yang sifatnya terpadu dalam dunia pendidikan adalah institusi  atau lembaga pendidikan yang memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain dinamakan industri jasa yaitu sebuah institusi yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Pelayanan yang dimaksud tentunya yang bermutu dan memberikan indikasi kepuasan kepada pelanggan.[1]
Dari deskipsi tersebutlah, maka dirasa perlu dan membutuhkan system manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan di indonesia agar lebih bermutu dan siap bersaiang dalam konteks nasional maupun internasional. Sistem manajemen mutu yang dimaksud adalah sistem yang berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasaran atau objek utama. Pelanggan disini dapat diklasifikasikan yakni menjadi pelanggan internal(dalam) maupun pelanggan luar. Jika dikorelasikan dengan pendidikan, yang dimaksud dengan pelanggan dari dalam pengelola institusi itu sendiri yaitu: manajer, guru, staff dan penyelenggara institusi. sedangkan pelanggan dari luar adalah masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Al hasil, setiap institusi akan dikategorisasikan bermutu apabila antara komponen-komponen yang dimaksud dalam hal ini pelanggaan baik internal maupun eksternal dapat terjalin kepuasannya atas jasa yang telah diberikan.[2]
Masalanya, apa yang dimaksud dengan mutu, seberapa pentingkah mutu, bagaimana ruang lingkup mutu khususnya jika dikorelasikan dengan pendidikan, tantangan-tantangan apa sajakah yang menghambat terhadap peningkatan mutu, bagaimanakah kerangka operasional manajemen mutu dalam pelayanan pendidikan diindonesia.
Pertanyaan diatas adalah upaya untuk mengungkap tentang bagaimana signifikansinya mutu bagi lembaga pendidikan diindonesia, mengingat istilah mutu terus didengungkan disetiap momentum, baik dimedia cetak maupun elektronik, sebagai indikasi bahwa diskursus tentang mutu terus bergulir, dan menjadi langkah untuk mencari, menelaah, mengidentifikasi problem-problem dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, seberapa jauh upaya yang telah dilakukan oleh segenap prakatisi pendidikan, adakah titik kekurangan dan kelemahan yang dapat dicarikan alternative solusinya untuk pemecahan masalahnya?
Oleh karena dianggap mutu penting, maka perlulah kita untuk sejenak merefleksikan tentang peran kita selaku calon praktisi serta akademisi untuk mengamati dan mengkaji tentang perkembangan mutu pendidikan kita. Ini penting dilakukakan, karena pemegang otoritas masa depan pendidikan diindonesia adalah kita. Jadi, kita mempunyai akuntabilitas untuk merajut masa depan pendidikan kita menjadi lebih baik, berarti, bermanfaat serta pembawa kabar gembira ditengah-tengah kehidupan masyarakat.











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pentingnya mutu pendidikan.
Pendidikan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting didalam kehidupan manusia. Indikasi maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh pendidikan bangsa tersebut. Artinya jika pendidikan suatu bangsa dapat menghasilkan Manusia yang berkualitas lahir maupun batin. Maka secara otomatis bangsa tersebut akan maju, damai dan tenteram. Sebaliknya jika pendidikan suatu bangsa mengalami stagnasi maka bangsa itu akan terbelakang disegala bidang dan mengalami kegagalan.
Berbicara tentang kualitas sumberdaya manusia. Islam memandang bahwa pembinaan sumberdaya manusia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran mengenai manusia itu sendiri, dengan demikian Islam memiliki konsep yang sangat jelas, utuh dan komprehensif mengenai pembinaan sumberdaya manusia. Konsep ini tetap aktual dan relevan untuk diaplikasikan sepanjang zaman ( Abudin Nata, 2001: 17).
Konsep islam yang dimaksud adalah berupa pola, strategi dan  system islami yang menjadi komponen penting dalam rangka pembentukan kepribadian sumberdaya manusia. Semua itu bisa dicapai dengan proses pendidikan dan pengajaran. Hal tersebut telah dipraktekkan oleh sang revolusioner Islam yakni nabi Muhammad SAW. Beliau dengan sabar, istiqamah dan punya semangat, sehingga dalam waktu yang singkat berhasil membawa keadaan umat jahiliyah menuju umat yang penuh dengan keberadaban.
Pola, strategi dan system islami yang dimaksud diantara menyangkut tauhid, aqidah, syariah serta akhlaq. Sebagaimana dikemukakan oleh Quraisy Shihab, bahwa dengan dasar nilai diatas dapat terumuskan sebuah konsep filosofi islami yang berisi:
Pertama, Kesatuan kehidupan manusia. Maksudnya adalah bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawi dapat terintegrasi dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses dan kegagalan ukhrawi ditentukan oleh amal duniawinya. Kedua, kesatuan ilmu. Bahwa tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum, karena semua bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT. Ketiga, kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi. Keempat, kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Prinsip-prinsip pokoknya menyangkut, aqidah, syariah dan akhlaq. Kelima, kesatuan keribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi. Keenam, kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.[3]
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, sejatinya Negara memiliki visi yang mulia yakni meningkatkan kualitas dari pendidikannya dari berbagai segi, tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa dari segi keilmuan saja, namun lebih dari itu penataan moral, akhlaq, keterampilan serta memperkaya wawasan. Itu penting dilakukan, karena dewasa ini kita memadang, tuntunan pendidikan semakin tampak dipermukaan. Hadirnya globalisasi sebagai isyarat bahwa genderang kompetisi sudah mulai menggema. Apabila bila tidak dipersiapkan dari berbagai segi sebagai bekal, maka lambat laun akan ketinggalan start dan akan menjadi Negara terbelakang.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki kekayaan yang sifatnya multidimensional, kaya akan suku, ras, budaya, agama, serta kekayaan alam yang melimpah ruah menjadi aset yang harus di jaga, dirawat, dikelola dengan baik. Disisi lain, pernah kita baca dalam catatan sejarah, bahwa Indonesia adalah memiliki banyak tokoh pemuda yang berkualitas seperti sukarno, hatta, bung tomo, dan beberapa tokoh lain. sehingga tidak jarang banyak Negara lain yang belajar dinegara tercinta Indonesia.        
Kenapa tidak jika dewasa ini terulang lagi, kita banyak professor dan doctor yang masing-masing punya spesifikasi dan konsentrasinya masing-masing. Baik yang lulusan dari luar negeri maupun dalam negeri. Jika itu dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, maka dapat dipastikan kecerlangan bangsa kita khususnya dalam ranah pendidikan akan semakin menggembirakan.
Namun hal tersebut adalah isapan jempol semata, sebagaimana diberitakan di Kompas edisi (3/3/2011) mengenai menurunnya peringkat pendidikan Indonesia dari peringkat 65 pada tahun lalu menjadi 69 pada tahun ini cukup menyesakkan dada. Pasalnya, peringkat pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Karena itu, dengan menurunnya peringkat pendidikan tersebut mudah dipahami jika kualitas manusia Indonesia pada umumnya rendah. Padahal, pemerintah telah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness sebagai salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah juga telah memperolah alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan untuk mendukungnya juga telah dibuat, mulai dari perangkat yuridis, seperti Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga kebijakan operasional seperti sertifikasi guru, PLPG, Program Pendidikan Guru (PPG), Duel Mode, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Ujian Nasional dsb. Semua kebijakan tersebut hakikatnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.[4]
Disisi lain diberitakan Kompas pula (3/3/2011) halaman 12 pada kolom “Pendidikan & Kebudayaan”, berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitroring Report  2011 yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin, 1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Tahun lalu dengan ukuran yang sama, peringkat Indonesia berada pada urutan 65 dan banyak yang menyambut gembira karena media menulis ‘Peringkat Pendidikan Indonesia Naik’. Tahun ini kita kembali kecewa karena peringkat tersebut tidak bisa dipertahakankan apalagi diperbaiki. Lembaga yang selalu memonitor perkembangkan pendidikan di berbagai negara di dunia setipa tahun itu menempatkan kualitas pendidikan Indonesia masih lebih baik daripada Filipina, Kamboja, dan Laos. Tetapi apa artinya dengan membandingkannya dengan tiga negara yang memang selama ini peringkatnya tidak pernah berada di atas Indoenesia, kecuali Filipina yang dalam beberapa hal lebih baik. Sementara Jepang berada pada urutan pertama sebagai bangsa dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.[5]
Survei itu menggunakan empat tolok ukur, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada anak usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar. Sekilas hasil yang dicapai Indonesia itu bisa dipahami. Sebab kenyataannya memang demikian. Dengan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 40 juta orang dari 237 juta penduduk berdasarkan sensus tahun 2010 , maka mudah dimengerti  jika angka partisipasi masuk sekolah dasar saja begitu rendah. Angka buta huruf juga masih sangat tinggi. Di Jawa Timur saja beberapa waktu lalu pemerintah provinsi Jawa Timur mengumumkan dari 37 juta penduduk Jawa Timur masih terdapat kurang lebih 6 juta penduduk yang masih buta huruf. Begitu juga dengan tolok ukur mengenai kesetaraan jender dalam  praktik pendidikan masih jauh dari angka ideal. Kendati isu kesetaraan jender terus dikumandangkan dan pemerintah secara khusus mengangkat menteri untuk menangani masalah perempuan, pembangunan kesetaraan jender masih menemui banyak kendala di Indonesia. Malah ada yang menganggap kesetaraan jender adalah  agenda masyarakat Barat dan bertentangan dengan nilai budaya bangsa, lebih-lebih nilai agama (Islam).[6]
Dalam konteks nasional dewasa ini Pendidikan Nasional tengah menghadapi isu-isu krusial dan pantas untuk didiskursuskan. Isu yang paling mencuat dan hangat dipermukaan terkait dengan masalah mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan berbagai tuntutan zaman, masalah akuntabilitas, professionalisme, efisiensi, debirokrasi dan perilaku pemimpin pendidikan. Problem tersebut sangat kontradiktif dengan yang diamanatkan pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional( SISDIKNAS).
Yang mana pada  bab II pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab . Dan pada bab III pasal 4  ayat 6 disebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah dengan memperdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan[7]

Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan belum menampilkan hasil yang optimal, hal demikian dapat tengarai dari berbagai factor, antara lain: masalah manajemen pendidikan yang kurang tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang keahliaannya(termasuk didalamnya pengangkatan kepala madrasah/sekolah yang kurang professional, bahkan hanya mengutamakan nuansa politis dari pada profesionalisme), penanganan masalah bukan pada ahlinya, masalah pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia, sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan belum dapat diwujudkan secara signifikan.
Disisi lain, penulis mengamati kenapa hal itu terjadi dilapangan:
1.    Setiap lembaga yang bernaung dibawah yayasan atau lembaga baik di negeri maupun swasta, dominasi kepala yayasan/pemilik lembaga sangatlah dominan, terutama pada persoalan anggaran, pengadaan fasilitas, maupun yang berkaitan dengan gaji dari stake holder. Sifat yang menonjol yang ditampilkan adalah otoriter. Walaupun tidak mengatakan tidak setuju, otoriter boleh selama tidak memberikan dampak negative terhadap kedinamisan dari sebuah lembaga, namun apabila sebaliknya jika akan menghambat, maka yang terjadi adalah justru akan berdampak pada yang lain. Misalnya tidak semangatnya guru menjalankan profesinya, terbengkalainya agenda-egenda kelembagaan, mis understanding nya antara pemilik lembaga dengan pihak-pihak pengelola sehingga berdampak pada mutu dari output lulusan.   
2.    Kebijakan rekrutmen guru adalah hal yang paling signifikan, guru yang seharusnya mengajar PAI, justru mengajar matematika, biologi, Kimia serta sejarah, jika sejarah kebudayaan islam masih dimaklumi. Kebijakan rekrutmen masih berkisar pada budaya nepotisme atau kebijakan berdasarkan kedekatan kekeluargaan, teman, kelompok-kelompok tertentu, ataupun yang punya kekuatan secara financial. Tenaga yang masuk tanpa proses seleksi yang berdasarkan nepotisme, akan dianggap akan membahayakan, karena mengingat tidak mengenali kepribadian dari calon pendidik.
3.    Factor kurikulum juga menjadi pemicu dari adanya mutu yang baik. Jika pihak tenaga kurikulum ditangani oleh tenaga yang tidak kompeten diwilayah itu, maka yang ada hanyalah dikatakan kurikulum apa adanya. Ini sering terjadi baik dilembaga yang baru menata, lebih tragis lagi apabila lembaga yang sudah dikenal baik oleh masyarakat. Biasanya ini terjadi jika ada alih jabatan, atau pergantian jabatan(kenaikan pangkat).  
4.    Lemahnya monitoring, supervisi ataupun maupun evaluasi dimasing-masing institusi pendidikan. Adanya evaluasi yang telah menjadi kebijakan dari masing-masing dinas atau institusi yang menaungi adalah hanya sebatas agenda semata dan kalaupun ada yang menjalankan, seperti adanya istilah EDS(Evaluasi Diri Sekolah) atau EDM(Evaluasi diri madrasah). Petugas berwenang hanya menilai dari segi administratif saja, bukan pada bentuk pengecekan langsung terhadap fakta yang memang benar-benar ada pada masing-masing lembaga. Jika pada sisi anggaran, sebut saja BOS ataupun Bosda, maka petugas aktif menilai dan terjun langsung.
5.     Pada tahap penilaian juga demikian, misalnya pada saat ujian semester maupun ujian nasional. Kebijakan penilaian terhadap hasil ujian, tingkat kejujuran dalam menilai, masih dipengaruhi oleh kewibawaan institusi, takut lembaga tercoreng karena kualitas dari anak didik dibawah rata-rata. Sehingga sikap yang ditampilkan adalah ketidak jujuran dari tenaga pendidik.[8]
Dari sekian sekelumit problem yang tergambarkan  diatas, apa  dan seharusnya bagaimana yang harus dilakukan seluruh komponen pendidikan yang berwenang untuk menyikapi dan sekaligus membenahi problem pendidikan tersebut. Lebih-lebih pada persoalan mutu pendidikan yang kerap diperbicangkan. Oleh karenanya harus ada upaya proaktif dan berkelanjutan untuk membenahi itu semua, karena mengingat kompleksitas masalah yang menerpa pendidikan kita yang terus menggejala, merupakan indikasi bahwa sikap kita dipertaruhkan dan tidak boleh lengah dengan kondisi dan situasi apapun.
B.  Definisi mutu pendidikan dan indikatornya mutu dalam proses pendidkan .
Mutu dalam kamus ilmiah adalah berarti kualitas, derajat atau tingkat.[9] Lebih lanjut Tom Peters dan Nancy Austin mengartikan mutu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.[10] Disisi lain mutu dalam konteks TQM (Total Quality Manajemen) adalah  merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan ekternal yang berlebihan[11].
Sedangkan yang dimaksud pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[12] Lebih lanjut dalam undang-undang sikdiknas  no 20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[13]
Berdasarkan keterangan diatas, bahwa mutu menurut hemat penulis adalah suatu kualitas ataupun nilai yang dijadikan ukuran terhadap suatu proses yang dilakukan. Proses yang dimaksud adalah melalui usaha pendidikan. Adapun ukuran penilaian terhadap proses pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan tersebut tentu memiliki banyak standar yang menjadi patokan penilaian.
Dalam peraturan pemerintah misalnya standar penilaian bermuara pada standar nasional pendidikan yang tergambarkan menjadi 8 standar diantarnya:
1.    Standar isi,
2.    Standar proses,
3.    Standar kompetensi lulusan;
4.    Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
5.    Standar sarana dan prasarana;
6.    Standar pengelolaan;
7.    Standar pembiayaan;dan
8.    Standar penilaian pendidikan.[14]
Standart penilaian yang dimaksud tergambarkan pada item atau ayat  8. Adapun mengenai petunjuk pelaksanaan dan teknisnya dijabarkan dalam peraturan pemerintah nomor 20 Tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan yang memuat:
1.    Pengertian penilaian.
2.    Prinsip Penilaian,
3.    Teknik dan Instrumen Penilaian,
4.    Mekanisme dan Prosedur Penilaian,
5.    Penilaian oleh Pendidik,
6.    Penilaian oleh Satuan Pendidikan,
7.    Penilaian oleh Pemerintah[15]
Adapun mengenai penjabarannya secara lebih rinci pada masing-masing item atau ayat diatas dapat  Dicek pada undang undang tersebut.
Sedangkan indicator mutu dalam proses pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut:



INDIKATOR MUTU PROSES PENDIDIKAN[16]

No.
Indikator
A. Profesionalisme Guru
1
Guru menguasai materi pelajaran dan Ipteks
2
Guru memiliki sikap dan perilaku yang dapat diteladani
3
Guru memiliki kecintaan dan berkomitmen terhadap profesi.
4
Guru menjadi motivator agar peserta didik aktif belajar.
5
Guru berlaku jujur, adil dan menyenangkan.
6
Guru menguasai berbagai strategi pembelajaran dan teknik penilaian
7
Guru bersikap terbuka dalam menerima pembaruan dan wawasan.
8
Guru memperhatikan perbedaan karakteristik setiap peserta didik.
9
Guru mendapat kemudahan/kesempatan mengembangkan pribadi dan profesionalisme.
B. Kurikulum
1
Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masya-rakat
2
Pengembangan kurikulum mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
3
Program pembelajaran disusun secara sistematis dan komprehensif
4
Program pembelajaran mendukung aspek spiritual, intelektual, sosial, emosional dan kinestetik
5
KBM dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin.
6
Pengembangan kurikulum meningkatkan kompetensi dan kemandirian peserta didik
7
Pengembangan kurikulum berfokus pada perkembangan potensi peserta didik secara optimal.
8
Pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
9
Pengembangan kurikulum dilakukan secara proposional antara kepentingan nasional dan kebutuhan lokal
10
Pengembangan Kurikulum secara kolaboratif dengan melibatkan pemangku kepentingan (stake holder).
11
Pengemb. dan implementasi kurikulum dilaksanakan secara kolegial dlm forum kerja guru.
12
Pengemb. kurikulum dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi peserta didik, satuan pendidikan, dan daerah.
C. Sarana Prasarana dan Sumber Belajar
1
Dimanfaatkan sumber belajar yg bervariasi, termasuk lingkungan.
2
Tersedianya sarana dan prasarana yg mendukung proses belajar dan pembelajaran.
3
Sarana dan sumber belajar mudah diperoleh oleh setiap peserta didik
4
Tersedianya buku pelajaran yang bermutu dan layak, sesuai dengan jumlah peserta didik,.
5
Tersedianya perpustakaan, koleksi pustaka dan pelayanan yang memadai.
6
Dimanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dlm proses pembelajaran.
7
Pengaturan sarana yg menjamin keamanan, kebugaran, kesehatan dan kenyamanan dlm belajar.
8
Tersedianya laboratorium, fasilitas olah raga, dan ruang kreatif yg diperlukan
D. Penilaian Belajar dan Pembelajaran
1
Penilaian dilaksanakan secara terencana dan berkelanjutan
2
Penilaian dilakukan secara terbuka, obyektif, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan
3
Penilaian dilaksanakan secara otentik
4
Penilaian hasil belajar dan pembelajaran digunakan untuk pembinaan lebih lanjut
5
Penilaian terhadap peserta didik dilakukan mencakup keseluruhan aspek Pengemb. potensi
6
Proses pembelajaran diawasi secara internal dan eksternal
E. Peserta Didik
1
Peserta didik yang mengalami hambatan belajar atau kecerdasan khusus memperoleh bimbingan khusus.
2
Peserta didik berminat untuk tetap bersekolah dan tidak ada drop out.
3
Terbukanya kesempatan percepatan belajar bagi peserta didik yg mampu.
4
Terbukanya kesempatan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan untuk memperoleh pembinaan.
5
Mutu lulusan peserta diatas standar nasional.
6
Kompetensi lulusan yang sesuai dengan kebutuhankecakapan hidup
7
Berkembangnya kemampuan siswa dalam mengikuti perubahan lingkungan
F. Pengembangan Kelembagaan dan Lingkungan
1
Adanya komitmen bersama untuk mencapai proses dan hasil yang terbaik.
2
Suasana satuan pendidikan yg menyenangkan
3
Visi, misi dan tujuan sekolah yang berprinsip sederhana, terukur, dapat diterapkan, beralasan, dan dengan batasan waktu.
4
Sekolah/madrasah memperoleh dukungan dari masyarakat, orang tua, alumnus, dan pihak yang berwenang
5
Tersedianya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai
6
Keterbukaan komunikasi dalam pengambilan keputusan.
7
Terjaminnya kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.
8
Proses dan hasil pendidikan dpt dipertanggungjawabkan
9
Para penyelenggara pendidikan melakukan refleksi untuk perbaikan diri
10
Rencana kerja disusun bersama antara sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah dan dinas yang terkait
11
Terjalin hubungan yang serasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders)
12
Satuan pendidikan mengelola sumber daya secra transparan dan akuntabel
13
Didayagunakannya narasumber dlm pembelajaran
14
Dikembangkannya jaringan kemitraan antar satuan pendidikan lokal, regional dan internasional.
15
Terjalinnya kerjasama secara kelembagaan dengan pihak lain
16
Terbangunnya partisipasi masayarakat dalam mendukung penyeleng-garaan pendidikan

C.  Perhatian khusus terhadap mutu secara global.
Dari paparan yang telah dikemukakan diatas, mutu atau kualitas adalah penting, karena sangat pentingnya maka memerlukan perhatian khusus dalam rangka untuk memperbaiki mutu pendidikan diindonesia. Perhatian tersebut tentu menjadi komitmen semua pihak, tidak hanya dibebankan pada sekolah saja, tetapi banyak pihak yang harus terlibat didalanya, diantaranya para ahli pendidikan, akademisi, praktisi, birokrat pendidikan dalam hal ini pemerintah, serta dukungan dari masyarakat.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah membawa dampak pada pengelolaan pendidikan di daerah, dengan diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Dengan diberlakukannya otonomi pendidikan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap tumbuhnya lembaga pendidikan yang berkualitas. Setiap lembaga pendidikan diharapkan mampu menggali sumber daya dan potensi daerah berbasis keunggulan lokal.
Konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari desentralisasi pendidikan tersebut, karena budaya dan potensi daerah yang sangat beragam, adalah lulusan yang bervariasi. Oleh karena itu, upaya standarisasi mutu dan jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan memenuhi standar mutu harus menjadi fokus perhatian dalam upaya memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.
Mohammad Ali (2007: 342) memaparkan, bahwa untuk menjamin terselenggaranya pendidikan sesuai dengan standar mutu, diperlukan penilaian secara terus menerus dan berkesinambungan terhadap kelayakan dan kinerja yang dilakukan dalam rangka melakukan pebaikan dan peningkatan mutu sekolah. Penilaian terhadap kelayakan dan kinerja secara berkesinambungan tesebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan manajemen, khususnya manajemen mutu sekolah, yang mempunyai tujuan utama mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kesalahan dalam proses produksi, dengan cara mengusahakan agar setiap langkah yang dilaksankan selama proses produksi dapat berjalan sebaik-baiknya sesuai standar[17]
D.  Ruang lingkup mutu pendidikan.
Pada dasarnya ruang lingkup pendidikan memiliki cakupan ,sebagai berikut:
kaitannya dalam mencakup berbagai aspek, diantaranya:
1.    Focus pada input: input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersediia karena kebutuhan untuk berlanglsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumber meliputi sumber daya manusia,(kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa) dan sumber daya selebihnya(peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan harapan berupa, visi, misi, tujuan, dan sasaran, sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik.
2.    Focus pada proses: proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpegaruh terhadap berlangsungnya proses disebut  input. Sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan berskala yang berskala micro(ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses  pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, proses belajar mengajar,  dan seterusnya.
3.      Focus ada Output. Output pendidikan adalah merupakan hasil yang dilakukan oleh instustitusi dalam hal ini lembaga pendidikan. Hal tersebut merupakan kinerja sekolah dalam menghasilkan prestasi sekolah.prestasi yang dimaksud menyangkut prestasi akademik  dan non akademik. Prestasi akademik berupa nilai ulangan umum unas, kaerya ilmiyah, lomba akdemik. Sedangkan non akdemik berupa, IMTAQ, Kejujuran, kesopanan,, kesenian, keterampilan, kejujuran, dan kegiatan ekstrakurikuler. [18] 

E.  Tantangan social budaya terhadap pendidikan.
Sampai detik ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan yang amat kompleks, terutama dalam konteks pendidikan.  Menurut muhaimin ada beberapa tantangan yang melanda pendidikan kita dewasa ini:
1.  Era globalisasi dibidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan tekhnologi dibidang transportasi dan informasi. Para siswa/peserta didik saat ini telah mengenal, berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat paedagogis-terkontrol maupun non paedagogis yang sulit terkontrol. Sumber-sumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol akan dapat mempengaruhi perubahan budaya, etika dan moral para siswa atau masyarakat. Masyarakat yang semula merasa asing dan bahkan tabu terhadap model-model pakaian(fachion) yang terbuka dan hiburan-hiburan(fun) atau film-film porno dan sadisme, atau tabu dengan bacaan dan gambar porno, yang dimuat diberbagai media massa, kemudia menjadi biasa-biasa saja(permissive), bahkan ikut menjadi bagian dari itu. Implikasi dari itu, maka sikap yang ditampikan adalah sikap sadisme, kekerasan, perkosaan, dan lain sebagainya dikalangan sebagian masyarakat.
2.  Rendahnya tingkat social capital. inti dari social capital adalah trust(sikap amanah), menurut pengamatan sementara para ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia ini, hampir mencapai titik “zero trust society atau masyarakat yang sulit dipercaya, yang berarti sikap amanah(trust) sangat lemah. Diantara indikatornya adalah hasil survey the political and economic risk consultancy(PERC) tahun 2004 bahwa indeks korupsi diindonesia sudah mencapai 9, 25 atau ranking pertama se asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat sampai 9,4).
3.  Hasil survey international menunjukkan bahwa mutu pendidikan diindonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Negara tetangga.
4.  Desparitas kualitas pendidikan antar daerah diindonesia masih tinggi.
5.  Diberlakukannya globalisasi dan perdagangan  bebas, yang berarti persaingan alumni dalam pekerjaan semakin ketat.
6.  Angka pengangguran lulusan sekolah atau madrasah dan perguruan tinggi semakin meningkat.
7.  Tenaga asing meningkat, sedangkan tenaga Indonesia yang dikirim keluar negeri pada umumnya non profesional.
8.  Orang-orang lebih senang sekolah/studi anak keluar negeri.
9.  Eskalasi(peningkatan) konflik, yang disatu sisi merupakan unsur dinamika social, tetapi disisi lain justru mengancam harmoni, bahkan integrasi social, baik local, nasional, regional, maupun international.
10.          Permasalahan makro nasional, yang meyangkut krisis multi dimensional baik dibidang ekonomi, politik, moral budaya dan sebaginya.
11.           Peran sekolah/madrasah dan perguruan tinggi dalam membentuk masyarakat madani(civil society).[19]
F.   Konsep manajemen Quality of care dan Quality of service implikasinya terhadap pendidikan.
Konsep manajemen quality of care adalah focus pada upaya memberikan jaminan kualitas mutu terhadap keberhasilan dari suatu proses pendidikan. proses penjaminan mutu disetiap jenis jalur dan jenjang pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis dan terencanadalam suatu program penjaminan mutu yang memilki target dan kerangka waktu yang jelas. Penjaminan mutu terhadap berbagai komponen pendidikan dalam implementasinya dilakukan secara sinergis oleh berbagai pihak, baik pihak internal maupun eksternal.[20] 
Disisi lain Keberhasilan manajemen mutu dalam dunia pendidikan (sekolah) dapat diukur tingkat kepuasaan pelanggan. Sekolah dapat dikatakan berhasil jika mampu memberikan layanan sesuai harapan pelanggan. Menurut Depdiknas (1999), sebagaimana dikutip Syafaruddin (2005: 289), menyebutkan 4 (empat) hal yang merupakan cakupan keberhasilan manajemen sekolah, yaitu :
a.    Siswa puas dengan layanan sekolah, yaitu dengan pelajaran yang diterima, perlakuan guru, pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah atau siswa menikmati situasi sekolah dengan baik.
b.    Orang tua siswa merasa puas dengan layanan terhadap anaknya, layanan yang diterimanya dengan laporan tentang perkembangan kemajuan belajar anaknya dan program yang dijalankan sekolah
c.    Pihak pemakai lulusan puas karena menerima lulusan dengan kualitas tinggi dan sesuai harapan.
d.   Guru dan karyawan puas dengan layanan sekolah, dalam bentuk pembagian kerja, hubungan dan komunikasi antar guru/pimpinan, karyawan, gaji/honor yang diterima dan pelayanan.

















KESIMPULAN
1.    Mutu pendidikan merupakan  sesuatu yang dianggap penting, karena hal demikan menyangkut kualitas, baik secara intelektual, emosional maupu spiritual. Oleh karenanya maka mutu harus senantiasa diperhatikan oleh seluruh komponen pendidikan. Mengingat problem yang telah tergambarkan diatas sangat jelas bahwa, masih banyak kelemahan pada pendidikan kita. Hal demikan memerlukan kerja keras, bersifat continue dan terkontrol.

2.    Mutu dalam kamus ilmiah adalah berarti kualitas, derajat atau tingkat.[21] Lebih lanjut Tom Peters dan Nancy Austin mengartikan mutu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.[22] Disisi lain mutu dalam konteks TQM (Total Quality Manajemen) adalah  merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan ekternal yang berlebihan.

3.    Indonesia diterpa krisis yang multi dimensional, tidak hanya menyangkut kelembagaan tetapi disisi lain menyangkut mutu atau kualitas pendidikan, oleh karena bersifat kompleks tantangan itu perlu strategi dan solusi yang sifatnya operasional yang mengena langsung pada sendi-sendi pendidikan. Seperti manajemen, SDM, kelembagaan, kurikulum serta factor dari luar yakni  link and macht(networking).

4.      Konsep manajemen quality of care dan quality of service adalah focus pada upaya memberikan jaminan kualitas mutu terhadap keberhasilan dari suatu proses pendidikan. proses penjaminan mutu disetiap jenis jalur dan jenjang pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis dan terencanadalam suatu program penjaminan mutu yang memilki target dan kerangka waktu yang jelas. Penjaminan mutu terhadap berbagai komponen pendidikan dalam implementasinya dilakukan secara sinergis oleh berbagai pihak, baik pihak internal maupun eksternal dan disisi lain focus pada pelayanan.






DAFTAR PUTAKA
Ali, Mohammad, “Penjaminan Mutu Pendidikan” dalam Mohammad Ali, Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jilid II., Bandung: Pedagogiana Press, 2009
Edward sallis, Total Quality Manajement In Educations , Ircisod, Yogyakarta, 2010.
Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persolan Umat, mizan, bandung, 1996
Muni, Hasil pengamatan dari penulis selama menjadi guru diinstitusi pendidikan selama 4 tahun pengajar lembaga pendidikan  
M dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994,
Marimba dalam Hafi Anshari, sikdiknas undang-undang no 20 tahun 2003 Bab I Ketentuan umum, pasal 1.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia,  Nomor 19 Tahun 2005 Tentang  Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum pada Bab II Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 2, hal: 4. 
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian pendidikan.
SISDIKNAS, UU No 20 tahun 2003
Tom peters dan nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985
Muhamin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009


[1] Edward sallis, Total Quality Manajement In Educations , Ircisod, Yogyakarta, 2010: hal  5.
[2] Ibid hal 5
[3] Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, tafsir maudlu’I atas pelbagai persolan umat, mizan, bandung, 1996: 382-383
[4] http://www.mudjiarahardjo.com/
[5] ibid
[6] ibid
[7] Baca SISDIKNAS, UU No 20 tahun 2003.
[8] Hasil pengamatan dari penulis selama menjadi guru diinstitusi pendidikan selama 4 tahun pengajar lembaga pendidikan  
[9] M dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hal 505  
[10] Tom peters dan nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985
[11] Edward salis, Total Quality Manajement in educations, Ircisod, Yogyakarta, 2010, hal  33.
[12] (Marimba dalam Hafi Anshari, 1982:28).
[13] Baca sikdiknas undang-undang no 20 tahun 2003 Bab I Ketentuan umum, pasal 1
[14] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang  Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum pada Bab II Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 2, hal: 4. 
[15] Baca Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian pendidikan.
[17] Ali, Mohammad, “Penjaminan Mutu Pendidikan” dalam Mohammad Ali, Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jilid II., Bandung: Pedagogiana Press, h. 348.
[18] Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian pendidikan.

[19] Muhamin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 15-17.
[20] Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian pendidikan
[21] M dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hal 505  
[22] Tom peters dan nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar