PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, dunia pendidikan dikagetkan dengan adanya suatu model
pengelolaan pendidikan baru yang berbasis industri. Pengelolaan model ini
mengandaikan adanya upaya pihak-pihak pengelola institusi pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan
manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih popular dan familiar disebut dengan istilah
Total Quality Educations(TQE). Dasar dari manjemen ini dikembangkan dari
konsep Total Quality Manajemen(TQM), yang pada mulanya diterapkan pada
dunia bisnis yang kemudian diterapkan pada dunia pendidikan.
Pada hakekatnya konsep ini menekankan pada pencarian secara
konsisten terhadap perbaikan yang sifatnya sustainable(berkesinambungan)
untuk mencapai standart kebutuhan serta kepuasan dari pelanggan. Dalam
prakteknya, strategi yang digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan manajemen
mutu ini yang sifatnya terpadu dalam dunia pendidikan adalah institusi atau lembaga pendidikan yang memposisikan
dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain dinamakan industri jasa
yaitu sebuah institusi yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan
pelanggan. Pelayanan yang dimaksud tentunya yang bermutu dan memberikan
indikasi kepuasan kepada pelanggan.[1]
Dari deskipsi tersebutlah, maka dirasa perlu dan membutuhkan system
manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan di indonesia agar lebih
bermutu dan siap bersaiang dalam konteks nasional maupun internasional. Sistem
manajemen mutu yang dimaksud adalah sistem yang berlandaskan pada kepuasan
pelanggan sebagai sasaran atau objek utama. Pelanggan disini dapat
diklasifikasikan yakni menjadi pelanggan internal(dalam) maupun pelanggan luar.
Jika dikorelasikan dengan pendidikan, yang dimaksud dengan pelanggan dari dalam
pengelola institusi itu sendiri yaitu: manajer, guru, staff dan penyelenggara
institusi. sedangkan pelanggan dari luar adalah masyarakat, pemerintah dan
dunia industri. Al hasil, setiap institusi akan dikategorisasikan bermutu
apabila antara komponen-komponen yang dimaksud dalam hal ini pelanggaan baik
internal maupun eksternal dapat terjalin kepuasannya atas jasa yang telah
diberikan.[2]
Masalanya, apa yang dimaksud dengan mutu, seberapa pentingkah mutu,
bagaimana ruang lingkup mutu khususnya jika dikorelasikan dengan pendidikan,
tantangan-tantangan apa sajakah yang menghambat terhadap peningkatan mutu,
bagaimanakah kerangka operasional manajemen mutu dalam pelayanan pendidikan
diindonesia.
Pertanyaan diatas adalah upaya untuk mengungkap tentang bagaimana
signifikansinya mutu bagi lembaga pendidikan diindonesia, mengingat istilah
mutu terus didengungkan disetiap momentum, baik dimedia cetak maupun
elektronik, sebagai indikasi bahwa diskursus tentang mutu terus bergulir, dan
menjadi langkah untuk mencari, menelaah, mengidentifikasi problem-problem dalam
penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, seberapa jauh upaya yang telah dilakukan
oleh segenap prakatisi pendidikan, adakah titik kekurangan dan kelemahan yang
dapat dicarikan alternative solusinya untuk pemecahan masalahnya?
Oleh karena dianggap mutu penting, maka perlulah kita untuk sejenak
merefleksikan tentang peran kita selaku calon praktisi serta akademisi untuk
mengamati dan mengkaji tentang perkembangan mutu pendidikan kita. Ini penting
dilakukakan, karena pemegang otoritas masa depan pendidikan diindonesia adalah
kita. Jadi, kita mempunyai akuntabilitas untuk merajut masa depan pendidikan
kita menjadi lebih baik, berarti, bermanfaat serta pembawa kabar gembira
ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pentingnya mutu pendidikan.
Pendidikan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting didalam kehidupan manusia. Indikasi maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh
pendidikan bangsa tersebut. Artinya jika
pendidikan suatu bangsa dapat menghasilkan “Manusia” yang berkualitas lahir maupun
batin. Maka
secara otomatis bangsa tersebut akan maju, damai dan tenteram. Sebaliknya jika pendidikan suatu bangsa mengalami stagnasi maka bangsa
itu akan terbelakang disegala bidang dan
mengalami kegagalan.
Berbicara tentang
kualitas sumberdaya manusia. Islam memandang
bahwa pembinaan sumberdaya manusia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran
mengenai manusia itu sendiri, dengan demikian Islam memiliki konsep yang sangat
jelas, utuh dan komprehensif mengenai pembinaan sumberdaya manusia. Konsep ini
tetap aktual dan relevan untuk diaplikasikan sepanjang zaman ( Abudin Nata,
2001: 17).
Konsep islam yang dimaksud adalah berupa pola, strategi dan system islami yang menjadi komponen penting
dalam rangka pembentukan kepribadian sumberdaya manusia. Semua itu bisa dicapai
dengan proses pendidikan dan pengajaran. Hal tersebut telah dipraktekkan oleh
sang revolusioner Islam yakni nabi Muhammad SAW. Beliau dengan sabar, istiqamah
dan punya semangat, sehingga dalam waktu yang singkat berhasil membawa keadaan umat
jahiliyah menuju umat yang penuh dengan keberadaban.
Pola, strategi dan system islami yang dimaksud diantara menyangkut
tauhid, aqidah, syariah serta akhlaq. Sebagaimana dikemukakan oleh Quraisy
Shihab, bahwa dengan dasar nilai diatas dapat terumuskan sebuah konsep filosofi
islami yang berisi:
Pertama, Kesatuan
kehidupan manusia. Maksudnya adalah bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan
duniawi dapat terintegrasi dengan kehidupan ukhrowinya. Sukses dan kegagalan
ukhrawi ditentukan oleh amal duniawinya. Kedua, kesatuan ilmu. Bahwa
tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum, karena semua
bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT. Ketiga, kesatuan iman dan
rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
sehingga harus saling melengkapi. Keempat, kesatuan agama. Agama yang
dibawa oleh para nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Prinsip-prinsip
pokoknya menyangkut, aqidah, syariah dan akhlaq. Kelima, kesatuan
keribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi. Keenam,
kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.[3]
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, sejatinya Negara memiliki
visi yang mulia yakni meningkatkan kualitas dari pendidikannya dari berbagai
segi, tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa dari segi keilmuan saja, namun
lebih dari itu penataan moral, akhlaq, keterampilan serta memperkaya wawasan. Itu
penting dilakukan, karena dewasa ini kita memadang, tuntunan pendidikan semakin
tampak dipermukaan. Hadirnya globalisasi sebagai isyarat bahwa genderang
kompetisi sudah mulai menggema. Apabila bila tidak dipersiapkan dari berbagai
segi sebagai bekal, maka lambat laun akan ketinggalan start dan akan menjadi
Negara terbelakang.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki kekayaan yang sifatnya
multidimensional, kaya akan suku, ras, budaya, agama, serta kekayaan alam yang
melimpah ruah menjadi aset yang harus di jaga, dirawat, dikelola dengan baik.
Disisi lain, pernah kita baca dalam catatan sejarah, bahwa Indonesia adalah
memiliki banyak tokoh pemuda yang berkualitas seperti sukarno, hatta, bung
tomo, dan beberapa tokoh lain. sehingga tidak jarang banyak Negara lain yang
belajar dinegara tercinta Indonesia.
Kenapa tidak jika dewasa ini terulang lagi, kita banyak professor
dan doctor yang masing-masing punya spesifikasi dan konsentrasinya
masing-masing. Baik yang lulusan dari luar negeri maupun dalam negeri. Jika itu
dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, maka dapat dipastikan kecerlangan bangsa
kita khususnya dalam ranah pendidikan akan semakin menggembirakan.
Namun hal tersebut adalah isapan jempol semata, sebagaimana
diberitakan di Kompas edisi (3/3/2011) mengenai menurunnya peringkat pendidikan
Indonesia dari peringkat 65 pada tahun lalu menjadi 69 pada tahun ini cukup
menyesakkan dada. Pasalnya, peringkat pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan
sebuah bangsa. Karena itu, dengan menurunnya peringkat pendidikan tersebut
mudah dipahami jika kualitas manusia Indonesia pada umumnya rendah. Padahal,
pemerintah telah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness
sebagai salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah juga telah memperolah alokasi anggaran sebesar 20% dari
APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan untuk mendukungnya juga telah
dibuat, mulai dari perangkat yuridis, seperti Undang-Undang Guru dan Dosen,
hingga kebijakan operasional seperti sertifikasi guru, PLPG, Program Pendidikan
Guru (PPG), Duel Mode, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Ujian Nasional
dsb. Semua kebijakan tersebut hakikatnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
nasional.[4]
Disisi lain diberitakan Kompas pula (3/3/2011) halaman 12 pada
kolom “Pendidikan & Kebudayaan”, berdasarkan data dalam Education for
All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan
diluncurkan di New York pada Senin, 1/3/2011, indeks pembangunan pendidikan
Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Tahun lalu
dengan ukuran yang sama, peringkat Indonesia berada pada urutan 65 dan banyak
yang menyambut gembira karena media menulis ‘Peringkat Pendidikan Indonesia
Naik’. Tahun ini kita kembali kecewa karena peringkat tersebut tidak bisa
dipertahakankan apalagi diperbaiki. Lembaga yang selalu memonitor perkembangkan
pendidikan di berbagai negara di dunia setipa tahun itu menempatkan kualitas
pendidikan Indonesia masih lebih baik daripada Filipina, Kamboja, dan Laos.
Tetapi apa artinya dengan membandingkannya dengan tiga negara yang memang
selama ini peringkatnya tidak pernah berada di atas Indoenesia, kecuali
Filipina yang dalam beberapa hal lebih baik. Sementara Jepang berada pada
urutan pertama sebagai bangsa dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.[5]
Survei itu menggunakan empat tolok ukur, yaitu angka partisipasi
pendidikan dasar, angka melek huruf pada anak usia 15 tahun ke atas, angka
partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V
sekolah dasar. Sekilas hasil yang dicapai Indonesia itu bisa dipahami. Sebab
kenyataannya memang demikian. Dengan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 40
juta orang dari 237 juta penduduk berdasarkan sensus tahun 2010 , maka mudah
dimengerti jika angka partisipasi masuk sekolah dasar saja begitu rendah.
Angka buta huruf juga masih sangat tinggi. Di Jawa Timur saja beberapa waktu
lalu pemerintah provinsi Jawa Timur mengumumkan dari 37 juta penduduk Jawa
Timur masih terdapat kurang lebih 6 juta penduduk yang masih buta huruf. Begitu
juga dengan tolok ukur mengenai kesetaraan jender dalam praktik
pendidikan masih jauh dari angka ideal. Kendati isu kesetaraan jender terus
dikumandangkan dan pemerintah secara khusus mengangkat menteri untuk menangani
masalah perempuan, pembangunan kesetaraan jender masih menemui banyak kendala
di Indonesia. Malah ada yang menganggap kesetaraan jender adalah agenda
masyarakat Barat dan bertentangan dengan nilai budaya bangsa, lebih-lebih nilai
agama (Islam).[6]
Dalam konteks nasional dewasa ini Pendidikan Nasional tengah menghadapi isu-isu krusial dan pantas untuk didiskursuskan. Isu yang paling mencuat dan hangat dipermukaan terkait dengan masalah
mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan berbagai tuntutan zaman, masalah
akuntabilitas, professionalisme, efisiensi,
debirokrasi dan perilaku pemimpin pendidikan. Problem tersebut sangat kontradiktif dengan yang
diamanatkan pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional( SISDIKNAS).
Yang
mana pada bab II pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab . Dan pada bab III pasal
4 ayat 6 disebutkan bahwa prinsip
penyelenggaraan pendidikan adalah dengan memperdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan[7]
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan kualitas pendidikan belum menampilkan
hasil yang optimal, hal demikian dapat tengarai dari berbagai factor, antara lain: masalah manajemen pendidikan yang kurang
tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang keahliaannya(termasuk
didalamnya pengangkatan kepala madrasah/sekolah yang kurang professional, bahkan hanya mengutamakan nuansa politis dari pada profesionalisme),
penanganan masalah bukan pada ahlinya, masalah
pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran
yang tersedia, sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan belum
dapat diwujudkan secara signifikan.
Disisi
lain, penulis mengamati kenapa hal itu terjadi dilapangan:
1.
Setiap
lembaga yang bernaung dibawah yayasan atau lembaga baik di negeri maupun
swasta, dominasi kepala yayasan/pemilik lembaga sangatlah dominan, terutama
pada persoalan anggaran, pengadaan fasilitas, maupun yang berkaitan dengan gaji
dari stake holder. Sifat yang menonjol yang ditampilkan adalah otoriter.
Walaupun tidak mengatakan tidak setuju, otoriter boleh selama tidak memberikan
dampak negative terhadap kedinamisan dari sebuah lembaga, namun apabila
sebaliknya jika akan menghambat, maka yang terjadi adalah justru akan berdampak
pada yang lain. Misalnya tidak semangatnya guru menjalankan profesinya,
terbengkalainya agenda-egenda kelembagaan, mis understanding nya antara
pemilik lembaga dengan pihak-pihak pengelola sehingga berdampak pada mutu dari
output lulusan.
2.
Kebijakan
rekrutmen guru adalah hal yang paling signifikan, guru yang seharusnya mengajar
PAI, justru mengajar matematika, biologi, Kimia serta sejarah, jika sejarah
kebudayaan islam masih dimaklumi. Kebijakan rekrutmen masih berkisar pada budaya
nepotisme atau kebijakan berdasarkan kedekatan kekeluargaan, teman,
kelompok-kelompok tertentu, ataupun yang punya kekuatan secara financial.
Tenaga yang masuk tanpa proses seleksi yang berdasarkan nepotisme, akan
dianggap akan membahayakan, karena mengingat tidak mengenali kepribadian dari
calon pendidik.
3.
Factor
kurikulum juga menjadi pemicu dari adanya mutu yang baik. Jika pihak tenaga
kurikulum ditangani oleh tenaga yang tidak kompeten diwilayah itu, maka yang
ada hanyalah dikatakan kurikulum apa adanya. Ini sering terjadi baik dilembaga
yang baru menata, lebih tragis lagi apabila lembaga yang sudah dikenal baik
oleh masyarakat. Biasanya ini terjadi jika ada alih jabatan, atau pergantian
jabatan(kenaikan pangkat).
4. Lemahnya monitoring, supervisi ataupun maupun evaluasi
dimasing-masing institusi pendidikan. Adanya evaluasi yang telah menjadi
kebijakan dari masing-masing dinas atau institusi yang menaungi adalah hanya
sebatas agenda semata dan kalaupun ada yang menjalankan, seperti adanya istilah
EDS(Evaluasi Diri Sekolah) atau EDM(Evaluasi diri madrasah). Petugas berwenang
hanya menilai dari segi administratif saja, bukan pada bentuk pengecekan
langsung terhadap fakta yang memang benar-benar ada pada masing-masing lembaga.
Jika pada sisi anggaran, sebut saja BOS ataupun Bosda, maka petugas aktif
menilai dan terjun langsung.
5. Pada tahap penilaian juga
demikian, misalnya pada saat ujian semester maupun ujian nasional. Kebijakan
penilaian terhadap hasil ujian, tingkat kejujuran dalam menilai, masih
dipengaruhi oleh kewibawaan institusi, takut lembaga tercoreng karena kualitas
dari anak didik dibawah rata-rata. Sehingga sikap yang ditampilkan adalah
ketidak jujuran dari tenaga pendidik.[8]
Dari sekian sekelumit problem yang tergambarkan diatas, apa
dan seharusnya bagaimana yang harus dilakukan seluruh komponen
pendidikan yang berwenang untuk menyikapi dan sekaligus membenahi problem
pendidikan tersebut. Lebih-lebih pada persoalan mutu pendidikan yang kerap
diperbicangkan. Oleh karenanya harus ada upaya proaktif dan berkelanjutan untuk
membenahi itu semua, karena mengingat kompleksitas masalah yang menerpa
pendidikan kita yang terus menggejala, merupakan indikasi bahwa sikap kita
dipertaruhkan dan tidak boleh lengah dengan kondisi dan situasi apapun.
B.
Definisi mutu pendidikan dan indikatornya mutu dalam proses
pendidkan .
Mutu
dalam kamus ilmiah adalah berarti kualitas, derajat atau tingkat.[9]
Lebih lanjut Tom Peters dan Nancy Austin mengartikan mutu adalah sebuah hal
yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.[10]
Disisi lain mutu dalam konteks TQM (Total Quality Manajemen) adalah merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang
membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam
menghadapi tekanan-tekanan ekternal yang berlebihan[11].
Sedangkan yang dimaksud pendidikan menurut Ahmad D.
Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.[12]
Lebih lanjut dalam undang-undang sikdiknas
no 20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[13]
Berdasarkan keterangan diatas, bahwa mutu
menurut hemat penulis adalah suatu kualitas
ataupun nilai yang dijadikan ukuran terhadap suatu proses yang dilakukan.
Proses yang dimaksud adalah melalui usaha pendidikan. Adapun ukuran penilaian
terhadap proses pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan tersebut tentu
memiliki banyak standar yang menjadi patokan penilaian.
Dalam peraturan pemerintah misalnya standar penilaian bermuara pada
standar nasional pendidikan yang tergambarkan menjadi 8 standar diantarnya:
1.
Standar
isi,
2.
Standar
proses,
3.
Standar
kompetensi lulusan;
4.
Standar
pendidik dan tenaga kependidikan;
5.
Standar
sarana dan prasarana;
6.
Standar
pengelolaan;
7.
Standar
pembiayaan;dan
8.
Standar
penilaian pendidikan.[14]
Standart penilaian yang dimaksud tergambarkan pada item atau
ayat 8. Adapun mengenai petunjuk
pelaksanaan dan teknisnya dijabarkan dalam peraturan pemerintah nomor 20 Tahun
2007 tentang standar penilaian pendidikan yang memuat:
1.
Pengertian
penilaian.
2.
Prinsip
Penilaian,
3.
Teknik
dan Instrumen Penilaian,
4.
Mekanisme
dan Prosedur Penilaian,
5.
Penilaian
oleh Pendidik,
6.
Penilaian
oleh Satuan Pendidikan,
7.
Penilaian
oleh Pemerintah[15]
Adapun mengenai penjabarannya secara lebih rinci pada masing-masing
item atau ayat diatas dapat Dicek pada
undang undang tersebut.
Sedangkan indicator mutu dalam proses pendidikan dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
INDIKATOR MUTU PROSES PENDIDIKAN[16]
No.
|
Indikator
|
A. Profesionalisme Guru
|
|
1
|
Guru
menguasai materi pelajaran dan Ipteks
|
2
|
Guru memiliki
sikap dan perilaku yang dapat diteladani
|
3
|
Guru
memiliki kecintaan dan berkomitmen terhadap profesi.
|
4
|
Guru
menjadi motivator agar peserta didik aktif belajar.
|
5
|
Guru
berlaku jujur, adil dan menyenangkan.
|
6
|
Guru
menguasai berbagai strategi pembelajaran dan teknik penilaian
|
7
|
Guru
bersikap terbuka dalam menerima pembaruan dan wawasan.
|
8
|
Guru
memperhatikan perbedaan karakteristik setiap peserta didik.
|
9
|
Guru
mendapat kemudahan/kesempatan mengembangkan pribadi dan profesionalisme.
|
B. Kurikulum
|
|
1
|
Kurikulum
dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masya-rakat
|
2
|
Pengembangan kurikulum mengikuti
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
|
3
|
Program
pembelajaran disusun secara sistematis dan komprehensif
|
4
|
Program
pembelajaran mendukung aspek spiritual, intelektual, sosial, emosional dan
kinestetik
|
5
|
KBM
dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik seoptimal mungkin.
|
6
|
Pengembangan kurikulum
meningkatkan kompetensi dan kemandirian peserta didik
|
7
|
Pengembangan kurikulum berfokus pada perkembangan
potensi peserta didik secara optimal.
|
8
|
Pengembangan kurikulum
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
|
9
|
Pengembangan
kurikulum dilakukan secara proposional antara kepentingan nasional dan
kebutuhan lokal
|
10
|
Pengembangan Kurikulum secara
kolaboratif dengan melibatkan pemangku kepentingan (stake holder).
|
11
|
Pengemb. dan implementasi kurikulum dilaksanakan
secara kolegial dlm forum kerja guru.
|
12
|
Pengemb. kurikulum dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi peserta didik, satuan pendidikan, dan daerah.
|
C. Sarana Prasarana dan Sumber Belajar
|
|
1
|
Dimanfaatkan
sumber belajar yg bervariasi, termasuk lingkungan.
|
2
|
Tersedianya
sarana dan prasarana yg mendukung proses belajar dan pembelajaran.
|
3
|
Sarana dan sumber belajar mudah diperoleh oleh setiap
peserta didik
|
4
|
Tersedianya buku pelajaran yang bermutu dan layak,
sesuai dengan jumlah peserta didik,.
|
5
|
Tersedianya perpustakaan,
koleksi pustaka dan pelayanan yang memadai.
|
6
|
Dimanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dlm proses pembelajaran.
|
7
|
Pengaturan
sarana yg menjamin keamanan, kebugaran, kesehatan dan kenyamanan dlm belajar.
|
8
|
Tersedianya laboratorium,
fasilitas olah raga, dan ruang kreatif yg diperlukan
|
D. Penilaian Belajar dan Pembelajaran
|
|
1
|
Penilaian
dilaksanakan secara terencana dan berkelanjutan
|
2
|
Penilaian dilakukan secara terbuka, obyektif, adil,
dan dapat dipertanggungjawabkan
|
3
|
Penilaian dilaksanakan secara otentik
|
4
|
Penilaian hasil belajar dan pembelajaran digunakan
untuk pembinaan lebih lanjut
|
5
|
Penilaian terhadap peserta didik dilakukan mencakup
keseluruhan aspek Pengemb. potensi
|
6
|
Proses
pembelajaran diawasi secara internal dan eksternal
|
E. Peserta Didik
|
|
1
|
Peserta didik yang mengalami hambatan belajar atau kecerdasan
khusus memperoleh bimbingan khusus.
|
2
|
Peserta didik
berminat untuk tetap bersekolah dan tidak ada drop out.
|
3
|
Terbukanya kesempatan percepatan belajar bagi peserta
didik yg mampu.
|
4
|
Terbukanya kesempatan bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan untuk memperoleh pembinaan.
|
5
|
Mutu lulusan peserta diatas standar nasional.
|
6
|
Kompetensi lulusan yang sesuai dengan
kebutuhankecakapan hidup
|
7
|
Berkembangnya kemampuan siswa dalam mengikuti
perubahan lingkungan
|
F. Pengembangan Kelembagaan dan Lingkungan
|
|
1
|
Adanya komitmen bersama untuk mencapai proses dan hasil yang
terbaik.
|
2
|
Suasana
satuan pendidikan yg menyenangkan
|
3
|
Visi, misi dan tujuan sekolah
yang berprinsip sederhana, terukur, dapat diterapkan, beralasan, dan dengan
batasan waktu.
|
4
|
Sekolah/madrasah memperoleh dukungan dari masyarakat,
orang tua, alumnus, dan pihak yang berwenang
|
5
|
Tersedianya
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai
|
6
|
Keterbukaan komunikasi dalam pengambilan keputusan.
|
7
|
Terjaminnya
kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.
|
8
|
Proses dan hasil pendidikan dpt dipertanggungjawabkan
|
9
|
Para
penyelenggara pendidikan melakukan refleksi untuk perbaikan diri
|
10
|
Rencana
kerja disusun bersama antara sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah dan
dinas yang terkait
|
11
|
Terjalin hubungan yang serasi dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders)
|
12
|
Satuan
pendidikan mengelola sumber daya secra transparan dan akuntabel
|
13
|
Didayagunakannya narasumber dlm pembelajaran
|
14
|
Dikembangkannya jaringan
kemitraan antar satuan pendidikan lokal, regional dan internasional.
|
15
|
Terjalinnya
kerjasama secara kelembagaan dengan pihak lain
|
16
|
Terbangunnya
partisipasi masayarakat dalam mendukung penyeleng-garaan pendidikan
|
C.
Perhatian khusus terhadap mutu secara global.
Dari paparan yang telah dikemukakan diatas, mutu atau kualitas
adalah penting, karena sangat pentingnya maka memerlukan perhatian khusus dalam
rangka untuk memperbaiki mutu pendidikan diindonesia. Perhatian tersebut tentu
menjadi komitmen semua pihak, tidak hanya dibebankan pada sekolah saja, tetapi
banyak pihak yang harus terlibat didalanya, diantaranya para ahli pendidikan,
akademisi, praktisi, birokrat pendidikan dalam hal ini pemerintah, serta
dukungan dari masyarakat.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah membawa
dampak pada pengelolaan pendidikan di daerah, dengan diberlakukannya
desentralisasi pendidikan. Dengan diberlakukannya otonomi pendidikan,
diharapkan akan berpengaruh positif terhadap tumbuhnya lembaga pendidikan yang
berkualitas. Setiap lembaga pendidikan diharapkan mampu menggali sumber daya
dan potensi daerah berbasis keunggulan lokal.
Konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari desentralisasi
pendidikan tersebut, karena budaya dan potensi daerah yang sangat beragam,
adalah lulusan yang bervariasi. Oleh karena itu, upaya standarisasi mutu dan
jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan memenuhi standar mutu harus menjadi
fokus perhatian dalam upaya memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan secara
nasional.
Mohammad Ali (2007: 342) memaparkan, bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan sesuai dengan standar mutu, diperlukan penilaian
secara terus menerus dan berkesinambungan terhadap kelayakan dan kinerja yang
dilakukan dalam rangka melakukan pebaikan dan peningkatan mutu sekolah.
Penilaian terhadap kelayakan dan kinerja secara berkesinambungan tesebut tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan manajemen, khususnya manajemen mutu sekolah,
yang mempunyai tujuan utama mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kesalahan
dalam proses produksi, dengan cara mengusahakan agar setiap langkah yang
dilaksankan selama proses produksi dapat berjalan sebaik-baiknya sesuai standar[17]
D.
Ruang lingkup mutu pendidikan.
Pada
dasarnya ruang lingkup pendidikan memiliki cakupan ,sebagai berikut:
kaitannya dalam
mencakup berbagai aspek, diantaranya:
1.
Focus
pada input: input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersediia karena
kebutuhan untuk berlanglsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumber
daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses. Input sumber meliputi sumber daya manusia,(kepala
sekolah, guru, karyawan dan siswa) dan sumber daya selebihnya(peralatan,
perlengkapan, uang, bahan, dsb.). input perangkat lunak meliputi struktur
organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana,
program, dsb. Input harapan harapan berupa, visi, misi, tujuan, dan sasaran,
sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar
proses dapat berlangsung dengan baik.
2.
Focus
pada proses: proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berpegaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input. Sedangkan sesuatu dari hasil proses
disebut output. Dalam pendidikan berskala yang berskala micro(ditingkat
sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program,
proses belajar mengajar, dan seterusnya.
3.
Focus
ada Output. Output pendidikan adalah merupakan hasil yang dilakukan oleh
instustitusi dalam hal ini lembaga pendidikan. Hal tersebut merupakan kinerja
sekolah dalam menghasilkan prestasi sekolah.prestasi yang dimaksud menyangkut
prestasi akademik dan non akademik.
Prestasi akademik berupa nilai ulangan umum unas, kaerya ilmiyah, lomba
akdemik. Sedangkan non akdemik berupa, IMTAQ, Kejujuran, kesopanan,, kesenian,
keterampilan, kejujuran, dan kegiatan ekstrakurikuler. [18]
E.
Tantangan social budaya terhadap pendidikan.
Sampai detik ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai
tantangan yang amat kompleks, terutama dalam konteks pendidikan. Menurut muhaimin ada beberapa tantangan yang
melanda pendidikan kita dewasa ini:
1.
Era globalisasi
dibidang budaya, etika dan moral, sebagai akibat dari kemajuan tekhnologi
dibidang transportasi dan informasi. Para siswa/peserta didik saat ini telah
mengenal, berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat
paedagogis-terkontrol maupun non paedagogis yang sulit terkontrol.
Sumber-sumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol akan dapat mempengaruhi
perubahan budaya, etika dan moral para siswa atau masyarakat. Masyarakat yang
semula merasa asing dan bahkan tabu terhadap model-model pakaian(fachion) yang
terbuka dan hiburan-hiburan(fun) atau film-film porno dan sadisme, atau tabu
dengan bacaan dan gambar porno, yang dimuat diberbagai media massa, kemudia
menjadi biasa-biasa saja(permissive), bahkan ikut menjadi bagian dari itu. Implikasi
dari itu, maka sikap yang ditampikan adalah sikap sadisme, kekerasan,
perkosaan, dan lain sebagainya dikalangan sebagian masyarakat.
2.
Rendahnya
tingkat social capital. inti dari social capital adalah trust(sikap
amanah), menurut pengamatan sementara para ahli, bahwa dalam bidang social
capital bangsa Indonesia ini, hampir mencapai titik “zero trust society
atau masyarakat yang sulit dipercaya, yang berarti sikap amanah(trust) sangat
lemah. Diantara indikatornya adalah hasil survey the political and economic
risk consultancy(PERC) tahun 2004 bahwa indeks korupsi diindonesia sudah
mencapai 9, 25 atau ranking pertama se asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya
meningkat sampai 9,4).
3.
Hasil
survey international menunjukkan bahwa mutu pendidikan diindonesia masih rendah
jika dibandingkan dengan Negara tetangga.
4.
Desparitas
kualitas pendidikan antar daerah diindonesia masih tinggi.
5.
Diberlakukannya
globalisasi dan perdagangan bebas, yang
berarti persaingan alumni dalam pekerjaan semakin ketat.
6.
Angka
pengangguran lulusan sekolah atau madrasah dan perguruan tinggi semakin
meningkat.
7.
Tenaga
asing meningkat, sedangkan tenaga Indonesia yang dikirim keluar negeri pada
umumnya non profesional.
8.
Orang-orang
lebih senang sekolah/studi anak keluar negeri.
9.
Eskalasi(peningkatan)
konflik, yang disatu sisi merupakan unsur dinamika social, tetapi disisi lain
justru mengancam harmoni, bahkan integrasi social, baik local, nasional,
regional, maupun international.
10.
Permasalahan
makro nasional, yang meyangkut krisis multi dimensional baik dibidang ekonomi,
politik, moral budaya dan sebaginya.
11.
Peran sekolah/madrasah dan perguruan tinggi
dalam membentuk masyarakat madani(civil society).[19]
F.
Konsep manajemen Quality of care dan Quality of service implikasinya
terhadap pendidikan.
Konsep manajemen quality of care adalah focus pada upaya
memberikan jaminan kualitas mutu terhadap keberhasilan dari suatu proses
pendidikan. proses penjaminan mutu disetiap jenis jalur dan jenjang pendidikan
dilakukan secara bertahap, sistematis dan terencanadalam suatu program
penjaminan mutu yang memilki target dan kerangka waktu yang jelas. Penjaminan
mutu terhadap berbagai komponen pendidikan dalam implementasinya dilakukan
secara sinergis oleh berbagai pihak, baik pihak internal maupun eksternal.[20]
Disisi lain Keberhasilan manajemen mutu dalam dunia pendidikan
(sekolah) dapat diukur tingkat kepuasaan pelanggan. Sekolah dapat dikatakan
berhasil jika mampu memberikan layanan sesuai harapan pelanggan. Menurut
Depdiknas (1999), sebagaimana dikutip Syafaruddin (2005: 289), menyebutkan 4
(empat) hal yang merupakan cakupan keberhasilan manajemen sekolah, yaitu :
a.
Siswa puas
dengan layanan sekolah, yaitu dengan pelajaran yang diterima, perlakuan guru,
pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah atau siswa menikmati
situasi sekolah dengan baik.
b.
Orang tua siswa
merasa puas dengan layanan terhadap anaknya, layanan yang diterimanya dengan
laporan tentang perkembangan kemajuan belajar anaknya dan program yang
dijalankan sekolah
c.
Pihak pemakai
lulusan puas karena menerima lulusan dengan kualitas tinggi dan sesuai harapan.
d.
Guru dan
karyawan puas dengan layanan sekolah, dalam bentuk pembagian kerja, hubungan
dan komunikasi antar guru/pimpinan, karyawan, gaji/honor yang diterima dan
pelayanan.
KESIMPULAN
1.
Mutu
pendidikan merupakan sesuatu yang
dianggap penting, karena hal demikan menyangkut kualitas, baik secara
intelektual, emosional maupu spiritual. Oleh karenanya maka mutu harus
senantiasa diperhatikan oleh seluruh komponen pendidikan. Mengingat problem
yang telah tergambarkan diatas sangat jelas bahwa, masih banyak kelemahan pada
pendidikan kita. Hal demikan memerlukan kerja keras, bersifat continue dan
terkontrol.
2.
Mutu
dalam kamus ilmiah adalah berarti kualitas, derajat atau tingkat.[21]
Lebih lanjut Tom Peters dan Nancy Austin mengartikan mutu adalah sebuah hal
yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.[22]
Disisi lain mutu dalam konteks TQM (Total Quality Manajemen) adalah merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang
membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam
menghadapi tekanan-tekanan ekternal yang berlebihan.
3.
Indonesia
diterpa krisis yang multi dimensional, tidak hanya menyangkut kelembagaan
tetapi disisi lain menyangkut mutu atau kualitas pendidikan, oleh karena
bersifat kompleks tantangan itu perlu strategi dan solusi yang sifatnya
operasional yang mengena langsung pada sendi-sendi pendidikan. Seperti
manajemen, SDM, kelembagaan, kurikulum serta factor dari luar yakni link and macht(networking).
4.
Konsep manajemen quality of care dan
quality of service adalah focus pada upaya memberikan jaminan kualitas mutu terhadap
keberhasilan dari suatu proses pendidikan. proses penjaminan mutu disetiap
jenis jalur dan jenjang pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis dan
terencanadalam suatu program penjaminan mutu yang memilki target dan kerangka
waktu yang jelas. Penjaminan mutu terhadap berbagai komponen pendidikan dalam
implementasinya dilakukan secara sinergis oleh berbagai pihak, baik pihak
internal maupun eksternal dan disisi lain focus pada pelayanan.
DAFTAR
PUTAKA
Ali, Mohammad, “Penjaminan Mutu Pendidikan”
dalam Mohammad Ali, Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin,
W. (Penyunting), Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jilid II., Bandung: Pedagogiana
Press, 2009
Edward sallis, Total
Quality Manajement In Educations , Ircisod, Yogyakarta, 2010.
Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran,
Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persolan Umat, mizan, bandung, 1996
Muni, Hasil
pengamatan dari penulis selama menjadi guru diinstitusi pendidikan selama 4
tahun pengajar lembaga pendidikan
M dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994,
Marimba dalam
Hafi Anshari, sikdiknas undang-undang no 20 tahun 2003 Bab I Ketentuan umum,
pasal 1.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum
pada Bab II Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 2, hal: 4.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang
Standar Penilaian pendidikan.
SISDIKNAS, UU No 20 tahun 2003
Tom peters dan nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985
Muhamin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009
[1] Edward sallis,
Total Quality Manajement In Educations , Ircisod, Yogyakarta, 2010:
hal 5.
[2] Ibid hal 5
[3]
Quraisy Shihab,
Wawasan Al-Quran, tafsir maudlu’I atas pelbagai persolan umat, mizan, bandung,
1996: 382-383
[4]
http://www.mudjiarahardjo.com/
[5] ibid
[6]
ibid
[8] Hasil
pengamatan dari penulis selama menjadi guru diinstitusi pendidikan selama 4
tahun pengajar lembaga pendidikan
[9] M dahlan, Kamus
Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hal 505
[10]
Tom peters dan
nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985
[11] Edward salis, Total
Quality Manajement in educations, Ircisod, Yogyakarta, 2010, hal 33.
[12] (Marimba dalam
Hafi Anshari, 1982:28).
[13] Baca sikdiknas
undang-undang no 20 tahun 2003 Bab I Ketentuan umum, pasal 1
[14]
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yang tercantum
pada Bab II Lingkup, Fungsi dan Tujuan, pasal 2, hal: 4.
[15]
Baca Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang
Standar Penilaian pendidikan.
[16] Sumber
ini disadur dari http://yusufhadi.net/indikator-mutu-proses-pendidikan
[17]
Ali,
Mohammad, “Penjaminan Mutu Pendidikan” dalam Mohammad Ali, Ibrahim,
R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting),
Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jilid II., Bandung: Pedagogiana
Press, h. 348.
[18]
Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar
Penilaian pendidikan.
[19]
Muhamin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 15-17.
[20]
Peraturan
pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian
pendidikan
[21] M dahlan, Kamus
Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hal 505
[22]
Tom peters dan
nancy Austin, A Passions For Excellence, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar