INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
A. Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Agama Islam menempatkan
ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan orang-orang yang
beriman (QS. Al – Mujaadilah, 58:11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash
baik al-qur’an maupun al-sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu
bahkan wahyu yang pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu
yakni perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam QS al-‘Alaq.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq,
96: 1- 5)
Umat Islam mendapatkan semangat yang luar biasa
karena banyak sekali perintah atau nash yang menyinggung masalah keilmuan. Hal
ini bisa dilihat padamasa awal Islam, banyak sekali egiatan pengembangan ilmu
pengetahuan,bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal dari gama dan
peradabanselain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan buku-buku dari Yunani anPersia
(Ahmad Y al-Hasan dan Donald R. Hill, 1993: 56-59). Namun usaha yangdilakukan
tidak rbatas sebagai penerjemah saja, tapi juga memberikan tambahan berupa
saran dan kritik terhadap ilmu ang dipelajari dari luar tersebut dan
jugamengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan
suatuteori baru.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan
menggunakan akal (QS Yunus, 10: 101; QS al-Rad, 13: 3), yang mana kedua hal ini
merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati
berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan
penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.
Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi
mala petaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang;
penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang tidak
memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu
sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama
telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan harus dikenali
melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan
fanatisme dalam kemandekan (Abudin Nata, 2005: 6). Menurut M Amin Abdullah
(pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: ii), Ibnu Rusyd merupakan ilmuwan muslim
pertama yang menggunakan metode integralistik-teosentrik.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu umum dan ilmu
agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe
lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan
yang berlabel agama dibawah naungan DEPAG (Departemen Agama) sedangkan lembaga
pendidikan yang umum berada dibawah DEPDIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional).
Pandangan masyarakat terhadap kedua tipe lembaga pendidikan ini mengisyaratkan
secara implisit bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum memang harus dipisah
(M Amin Abdullah, pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: xiii).
Upaya integrasi ilmu dan agama di Indonesia telah
diupayakan oleh para pemikir Muslim dan penentu kebijakan. Sebagai contoh
adanya upaya untuk merubah lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN) menjadi
lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga
mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga beberapa IAIN telah dirubah menjadi UIN.
Mau tidak mau dalam mata kuliah UIN harus mengandung mata kuliah ilmu
pengetahuan umum dan mendirikan fakultas non-agama Islam (Adian Husaini, 2008:
54-64).
2. RUMUSAN
MASALAH
Dari uraian diatas, perlu kita rumuskan
dengan tujuan, supaya pembahasan ini terarah dan tidak keluar dari permasalahan.
1. Bagaimana
integrasi ilmu dan Agama?
2. Bagaiamana
Ragam Integrasi Ilmu dan Agama?
3. Bagaimana
Tipe Integrasi Ilmu Dan Agama?
4.
Bagaimana Integrasi
Ilmu Dan Agama Perspektif Mulla Shadra?
5.
Bagaimana Integrasi
Ontologi Ilmu Dan Agama?
3. TUJUAN
PENULISAN
Dengan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan ini adalah:
1. Untuk
mendiskripsikan Integrasi ilmu dan agama
2. Untuk
mendiskripsikan ragam Integrasi Ilmu Dan Agama
3. Untuk
mendiskripksikan Tipe Integrasi Ilmu dan Agama
4. Untuk
mendiskripsikan Integrasi Ilmu dan Agama Persepektif Mulla Sadra
5. Untuk
mmendiskripsikan Integrasi Ontologi Ilmu dan Agama
B. PEMBHASAN
1. Pengertian
Ilmu
Ilmu
merupakan istilah yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat
dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk
menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan.
Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam
arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang
mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi.
Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama[1].
Menurut
Syamsuddin Abdullah dalam bukunya ilmu agama adalah suatu semangat yang
berusaha untuk memahami hubungan antarobyek dan merumuskan tata cara
bekerjanya. Pada mulanya ilmu pengetahuan dipergunakan untuk kebutuhan yang
sangat mendesak yang ahkirnya berkembang menjadi suatu kerangka berfikir yang mengandung nilai-nilai teoritis
mengenai penjelasan gejala-gejala ilmiah[2].
Ilmu
dapat pula dibedakan berdasar maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan
metode. Dalam pengertian pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah sesuatu
kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systemic boday of knowledje).
John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang
dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowladje collected by means
of the scientific method).
Ilmu
dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti tahu. Dalam bahasa
inggris disebut science berasal dari perkataan Latin scientia
yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know)
atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai
aktivitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang
membuat pengetahuan (science is the process which makes knowladje).
Sebagai aktivitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. Titus mengatakan
bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh
pengetahuan yang obyektif dan dapat membuktikan kebenarannya[3].
Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan
ialah menarik antarhubungan antara gejala-gejala yang ada di alam lahir dan
untuk ditegakkan hukum sebab akibat. Selanjutnya diakui bahwa segala gejala-gejala
alam adalah sungguh-sungguh berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan
didalam alam ini tidak ada yang terjadi yang secara kebetulan. Oleh karena itu,
dapat diambil suatu catatan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tersusun
secara sistematis dengan mempergunakan kekuatan akal pikiran yang selalu dapat
diperiksa oleh setiap orang yang ingin mengetahui secara mendalam dan obyektif.
Sedangkan ilmu pengetahuan menurut ruang
lingkupnya dapat dibagi menjadi tiga cabang yaitu:
1. Natural
sciences, yaitu ilmu pengetahuan alam yang mempelajari gejala-gejala alam baik
yang hayati (hidup) misalnya biologi, maupun yang non hayati (mati) misalnya
fisika.
2. Humanities
sciences/humaniora yaitu suatu ilmu pengetahuan yang obyek garapannya adalah
masalah kerohanian yang mempelajari manifestasi spiritual dari kehidupan
bersama, dan termasuk dalam kelompok ini meliputi: filsafat, ilmu agama dan
ilmu bahasa serta seni.
3. Sosial
sciences, adalah suatu ilmu pengetahuan yang obyektif garapannya masalah
masyarakat. Ia adalah kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan
manusia dengan sesamanya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: hukum,
politik, antropologi, sosiologi, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
2. Pengertian
Agama
Dalam musyawarah antar agama dijakarta,
30 Nopember 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama
adalah hal yang disebut problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah
untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit
didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan
subyektif. Kedua, membahas pengertian agama selalu melibatkan emosi. Ketiga,
arti agama dipengaruhi oleh tujuan yang memberikan pengertian agama tersebut.
Kata agama yang telah masuk pada perbendaharaan
bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari dua
perkataan yaitu: A dan Gama. A berarti kocar-kacir, berantakan. Maka kata agama
merupakan penyatuan dari dua kata A dan Gama yang artinya tidak kocar-kacir,
teratur. Dan sama dengan perkataan Griek yaitu agama berarti Chaos atau tidak
berantakan. Jadi agama adalah suatu peraturan yang tidak kocar-kacir dan juga
berarti taratur rapi[4].
Dalam bahasa arab agama itu
diterjemahkan dengan Ad-dien atau millah. Perbedaan antara keduanya ialah kalau
Ad-dien dinisbatkan kepada Allah, sehingga orang boleh mengatakan Dienullah
(agama Allah). Sedangkan Millah dinisbatkan kepada Rasul yang membawa agama,
sehingga disebut Millatu Ibrahim (agama ibrahim). Sedangkan Ad-dien itu sendiri
mempunyai arti bermacam-macam antara lain, cara atau kebiasaan, peraturan,
undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan,
perhitungan, hari kiamat, nasehat dan agama.
Menurut Sidi Gazalba[5]
bahwa istilah al-dein lebih luas pengertiannya dari pada istilah agama
dan religi. Agama dan religi hanya berisi hubungan manusia dengan Tuhan saja,
sedangkan al-dein berisi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia
dengan manusia. Sedangkan menurut Zainal arifin Abbas, kata al-dein (memakai
awalan al-ta’rif) hanya ditujukan kepada Islam saja, dan selainnya tidak
demikian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 19, di mana Allah hanya
mengakui Islam sebagai agama yang sah,
¨bÎ)
úïÏe$!$#
yYÏã
«!$#
ÞO»n=óM}$#
3 $tBur
y#n=tF÷z$#
úïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
wÎ)
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
ãNèduä!%y`
ÞOù=Ïèø9$#
$Jøót/
óOßgoY÷t/
3 `tBur
öàÿõ3t
ÏM»t$t«Î/
«!$#
cÎ*sù
©!$#
ßìÎ|
É>$|¡Ïtø:$#
ÇÊÒÈ
Artinya:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
3. INTEGRASI
ILMU DAN AGAMA
Dalam wacana pemikiran Islam banyak
kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya
kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah
(ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan tidak ada
pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua
ayat tersebut bersal dari Yang satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga
dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra’), sejalan pula dengan
misi nabi Muhammad saw, untuk membrantas kebodohan (jahiliyah), sebagai lawan
dari berfikir rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya dalam
al-Qur’an ayat-ayat yang berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu
berfikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi
orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menunutut ilmu merupakan satu
pencarian religious[6].
Hadits nabi saw, yang mengatakan
“tuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina”, juga menunjukkan bahwa menuntut ilmu
tidak hanya ditujukan pada ilmu agama. Ungkapan “negri Cina” dalam hadist
tersebut, tentu dapat dipahami bahwa cina bukanlah tempat yang tepat untuk
mempelajari ajaran Islam. Al-Qur’an, dalam surah al-Baqarah ayat 102, juga
mengecam mereka yang mencari pengetahuan tetapi tidak berguna bagi dirinya. Mereka
mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak member manfaat kepada mereka.
Ilmu dan agama meskipun tidak ada
persoalan, namun sejarah mencatat keduanya mengalami pendikotomian, terutama
ketika al-Ghazali memisahkan antara ilmu agama sebagai ilmu wajib dan ilmu umum
sebagai ilmu sunnah. Demikian pula berkembangnya tasawuf yang memalingkan umat Islam
pada kesalehan individual dengan meninggalkan persoalan keduniawian. Di
Indonesia, selama bertahun-tahundikotomi tersebut terlihat pada pemilahan
bidang kajian, yaitu kajian keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi
agama seperti IAIN atau STAIN, adapun keilmuan umum dikembangkan diperguruan
tinggi.
Ernest Renan[7]
secara tegas mengatakan bahwa Islam meskipun secara ontologis menganggap tidak
ada masalah antara ilmu dan agama, namun Islam bermasalah dengan ilmu modern.
Dalam caramahnya di Sorbone pada tahun 1883 yang berjudul L’Islamisme et la
science, ia menunjukkan irrasionalitas dan ketidakmampuan masyarakat muslim
melahirkan ilmu. Islam memang pernah meletakkan dasar perkembangan keilmuan,
namun ilmu modern tidak lahir dari rahim kaum muslim.
Pandangan ini mendapat komentar balik
dari Jamal al-Din afghani bahwa tidak mungkin terjadi benturan ilmu dan agama,
baik tradisional maupun modern, dan ilmu barat modern tidak lain dari ilmu Islam
asli yang dikirim kembali melalui Rainaissans dan Pencerahan kedunia
Islam. Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam ilmu modern, akan tetapi
tafsiran materialistik atas ilmulah yang menjadi inti kontroversi agama dan
ilmu.
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa
peradaban Barat dapat mengalami kemajuan seperti saat ini setelah mengadopsi
keilmuan yang berkembang di dunia Islam. Montogomery watt[8]
dalam hal ini menjelaskan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di
dunia Islam eropa pada masa lalu telah mampu menyebabkan perasaan rendah diri
(inferior) di kalangan Barat.
Pandangan Ernest Renan sebagaimana
tersebut di atas tentu tidak memiliki dasar kuat yang didukung oleh fakta
sejarah. Uraian berikut akan memberikan gambaran bagaimana kemajuan ilmu telah
dicapai di dunia Islam, bagaimana Islam telah memberikan kontribusi pada perkembangan
keilmuan di Barat, sekaligus membuktikan kesalahan pandangan Renan akan ketidak
mampuan masyarakat muslim melahirkan ilmu. Berikut adalah beberapa diantara
ilmuan muslim yang telah mewarnai perkembangan keilmuan modern[9].
1. Ilmuan
Kimia
1. Jabir
ibnu Hayyan (Latin: Geber, 721-815) mengembangkan ilmu empiris berupa
observasi, pengukuran dan penalaran. Ia filsuf dan ahli logika, bekerja
dibidang fisika dan kedokteran. Karya utamanya dalam bidang kimia, ahli bidang
kristalisasi, sublimasi, distilasi, kalsinasi, serta berhasil membuat berbagai
jenis asam.
2. Ilmu
Fisika
1. Hasan
ibnu Haytsam (dikenal dengan nama alhazen, 965-1039), menambahkan pandangan
Ibnu Hayyan dalam ilmu empiris dengan konsep anasir hipotesis (patokan duga)
dan verifikasi dengan eksperimentasi. Ia seorang fisikawan juga ahli matematika
yang menggabungkan aljabar dengan geometri analitik. Karyanya sebagian dibidang
astronomi dan dalam bidang kedokteran. Ia menulis kitab al-Manazir yang
membahas anatomi mata dan juga menulis hukum-hukum pantulan, pembiasan cahaya.
2. Al-Kindi
(nama latinnya Alkindus, 800-873), menulis buku fisika tentang optika
geometris, cabang fisika yang mempelajari jalan sinar, gelombang bunyi dan
musik. Selain itu ia menulis bidang kimia, geografi, kedokteran dan matematika.
Beberapa abad kemudian memberikan inspirasi bagi ilmuan eropa seperti Ragon
Bacon.
3. Ilmua
Biologi
a.
Ad-Damiri, nama
lengkapnya Muhammad bin Musa bin Isa Kamal ad-Din ad-Damiri, dikenal sebagai
ahli ilmu hewan terbesar. Ia lahir di Kairo sekitar tahun 742 H/1341 M,
meninggal tahun 808 H/1405 M. Damiri dikenal sebagai ahli hukum, ilmu hadits,
tafsir al-qur’an dan filologi Arab.
b.
Al- Jahiz, nama
lengkapnya Abu Uthman bin Bahr (Ibnu Mahbub) Al fuqayan Al-Basri al-jahiz,
lahir dari Irak tahun 160 H. Ia adalah penulis prosa dan sastra yang sangat
terkenal dalam sejarah sastra Arab. Sebagai pakar biologi ia berhasil
menciptakan teori-teori embrionik dan pencetus konsep evolusi organic. Karya
terkenalnya adalah kitab Al-hayawan yang didalam dijumpai teori-teorik embrionik
tentang evaluasi spesies, pengaruh iklim dan psikologi kehewanan.
4. Ilmu Kedokteran
a.
Ibnu Masawayh,
nama lengkapnya Abu Zakariya Yuhana Ibnu Masawyh, meninggal tahun 249 H/857 M.
Ia dikenal dengan dokter spesialis diet. Karya terpentingnya adalah an-Nawadir
ath-Biyyah, yaitu kumpulan aphorisme medis dan kitab Al-Azmina, deskripsi
tentang berbagai ragam masini sepanjang tahun.
b.
Ibnu Sina (nama
latinnya Avicena, 980-1037), dikenal sebagai diraja dokter dan penemu berbagai
macam ilmu. Karya terpentingnya adalah Qanun al-Tibb menjadi buku teks selama
sekitar lima abad di berbagai perguruan tinggi eropa. Dia juga melakukan
analisis berbagai bentuk energi, panas, gerak, cahaya serta analisis konsep
gaya dan vakum.
5. Ilmuan
matematika
1. Al-
Hawarizmi (dikenal dengan nama Algorism, w. 840) memperkenalkan bilangan dalam
ilmu hitung dan aritmatika. Dia menulis buku Al-jabr wa Al-muqabalah. Algorithm
namanya kemudian dikenal menjadi nama untuk urutan langkah yang harus diambil
dalam proses perhitungan, dan aljabar menjadi bagian dari matematika. Dan masih
banyak lagi ilmuan muslim yang terlibat dalam proses dan menciptakan konsep
terkait dengan ilmu umum, dan ini sekaligus kanterbalik pada segelintiran
ilmuan barat bahwa muslim tidak memiliki dalam hal ilmu pengetahuan umum.
Kemajuan
keilmuan islam yang telah menandai masa keemasan islam dan secara pesat
mempengaruhi perkembangan keilmuan di wilayah yang lain, menurut Fazlur Rahman[10],
karena adanya beberapa faktor yang mendukung, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi: 1) adanya kemampuan kualitas moral dan
spiritual yang dibangun oleh nabi Muhammad saw, yang mampu memberikan tenaga
hidup dan kesadaran sebagai pengemban syari’ah. 2) kecanggihan umat islam dalam
mengasimilisasikan sistem budaya di luar islam dalam rangka islam. 3) aspek
ajaran islam yang mengedepankan humanitarianisme yang telah mempercepat proses
islamisasi dikalangan bangsa-bangsa yang dilakukan. Adapun faktor eksternal
adalah kelemahan kerajaan Byzantium da Persia setelah kehabisan tenaga karena
perang diantara mereka.
Dalam
perkembangan keilmuan di barat, wacana hubungan ilmu dan agama bukan hanya
dikotomis, tetapi kontradiktif. Berkembangnya paham rasionalisme, emperisme,
dan positivisve sebagai anak kandung renaisans telah mengubah paradigm hubungan
kedua entitas tersebut. Ketika positivisve mengajukan konsep bahwa ukuran
kebenaran harus tunduk pada kaidah-kaidah rasional dan empiris yang terukur dan
dapat dieksprimentasi, terjadilah benturan dengan agama yang lebih menekankan
pada keimanan wahyu dan kepasrahan total pada otoritas yang supranatural.
Keilmuan
modern terkesan ingin menyaingi bahkan menggantikan agama sebagai satu-satunya
penafsir realitas dan kebenaran, serta menjadi system pandangan dunia yang
menyeluruh sebagaimana dilakukan saintesme. Pandangan neo-positivisve yang
disebarkan oleh kelompok ilmuan dan filsuf yang dikenal sebagai lingkungan Wina
(Wiener Kries) pada abad ke 20 telah mempersoalkan demarkasi antara pernyataan
yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan yang dapat dibuktikan
kebenarannya secara obyektif yang bermakna. Inilah yang disebut sebagai “asas
verivikasi”. Dengan demikian pernyataan tentang keindahan surgsa, kengerian
neraka, dan kemahaesaan Tuhan merupakan pernyataan yang tidak bermakna, karena
secara empiris tidak dapat dibuktikan.
Selain
itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu
komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi
mana-pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam
di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk menunjukkan
pola-pola umum mana-pun.[11]
Kaum materialisme dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim
bahwa “sains” dan “agama” memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam domain
yang sama sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa
orang tidak dapat mempercayai evolusi dan Tuhan sekaligus.[12]
4. RAGAM
INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Ian
G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut
fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan
Agama (terj) dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies,
Strangers, or Partuers?, bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan
salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu
konflik (conflict), perpisahan (independence),
dialog - perbincangan (dialogue), dan integrasi-perpaduan (integration.).[13]
1. Konflik,
hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara
ilmu dan agama dalam melihat satu persogalan. Keduanya sama-sama memiliki
argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikkan
satu dengan yang lain. Menurut Ian Barbour, munculnya konflik antara ilmu dan
agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan
hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633 karena mengajukan teori
Coperncus[14]
dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan
otoritas kotab suci yang meyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta
(geosentris). Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara limu
dan agama adalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19. Sejumlah
ilmuan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan kebenaran kitab
suci tidak dapat dipertemukan. Kaum Literalis Biblikal memahami bahwa alam
semesta diciptakan Tuhan secara langsung (kreasionisme), adapun kaum
evolusionis berpandangan bahwa alam semesta terjadi secara alamiah melalui
proses yang sangat panjang (evolusionisme). Pada era sekarang pandangan konflik
dapat pula dilihat dalam pemikiran kaum skeptis, yang memandang bahwa ilmu dan
agama memiliki banyak perbedaan yang mendasar sehingga tidak dapat didamaikan.
Agama bersal dari keyakinan dan resisten terhadap perubahan, sedangkan ilmu
berawal dari keraguan dan setiap saat akan mengalami perubahan. Penganut
skeptisme mengatakan bahwa agama dilandasi oleh asumsi-asumsi yang apriori
sebagai kebenaran yang given, sedangkan ilmu dilandasi asumsi yang aposteriori,
yang begitu saja menerima sesuatu sebagai yang benar. Agama berdasar pada
keimanan yang dogmatis, sedangkan ilmu bertumpu pada fakta yang diamati.
2. Independensi,
menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama
sama-sama abasah selama berada pada ruang lingkup penyelidikan masing-masing.
Ilmu dan agama memiliki tolok ukur kebenaran yang berbeda sehingga agama tidak
boleh dinilai menggunakan tolok ukur ilmu, demikian pula sebaliknya. Ilmu dan
agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara
pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga
tidak ada artinya mempertentangkan keduanya[15].
Karl Barth berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan pokok
persoalan yang berbeda. Ilmu dibangun berdasar pengamatan dan penalaran manusia,
sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Francis Bacon, demikian pula Newton,
mengatakan bahwa sikap ilmiah sejati berangkat dari keberanian berfikir dan
mengamati sendiri tanpa berdasar pada otoritas apapun, sementara sikap dasar
agama adalah kepercayaan dan kepasrahan pada otoritas lain terutama otoritas
Tuhan. Oleh karenanya ilmu dan agama harus berjalan sendiri-sendiri tanpa ada
campur tangan satu dengan yang lain. Ilmu memusatkan perhatian pada bagaimana
segala sesuatu terjadi di ala mini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu
itu terjadi dan ada (eksis). Ilmu berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama
berurusan dengan makna. Ilmu berurusan dengan berbagai masalah yang dapat
dipecahkan, sedangkan agama berurusan dengan misteri yang tidak mudah
dipecahkan. Ilmu berusaha menjawab berbagai persoalan menyangkut cara kerja
alam, sedangkan agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Ilmu
memberi perhatian pada kebenaran particular sedang agama tertarik untuk
menjelaskan kebenaran universal[16].
3. Dialog,
pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup aman, namun dapat
menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan kebenaran antara
ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan karena tidak
dapat mengambil keduanya sekaligus. Menurut Barbour, pendekatan ini membantu
tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat
orang putus asa. Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat
disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini
menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik maupun normatif.
Hubungan dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat
menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama
menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri. Misal dengan menanyakan mengapa
alam semesta serba teratur dan dapat dipahami. Dalam banyak hal agama juga
memerlukan metode yang dikembangkan ilmu untuk lebih memantapkan keyakinan
agamanya, atau memahami realitas yang tidak melulu dijawab dengan keyakinan.
4. Integrasi,
ada dua makna dalam tipologi ini, pertama bahwa integrasi mengandung
makna implisit “reintegrasi”, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah
keduanya terpisah, kedua integrasi mengandung makna “unity”, yaitu bahwa
ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama popular
dibarat karena kenyataan sejarah menunjukkan keterpisahan itu. Adapun makna
yang kedua lebih banyak berkembang di dunia islam karena secara ontologism dipakai
bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup
pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembahasan al-Qur’an, yang satu
dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak
saling bertentangan. Kalaupun terjadi pertentangan dipahami sebagai perbedaan
interpretasi manusia dalam memahami al-Qur’an ataupun alam. Menurut Immanuel
Kant, perbedaan yang terjadi hanya pada kawasan fenomena tidak pada
kawasan noumena.Integrasi tidak dipahami sebagai peleburan. Menurut Ian
Barbour dan John Haught, peleburan dapat berimplikasi pada penghilangan
identitas yang justru menghasilkan absurditas pada keduanya.
Pertentangan
antara sains dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah hubungan yang
bertelingkah (conflicting) dan dalam kasus yang ekstrim barangkali
bahkan bermusuhan (hostile). Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan
sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa
saling mengganggu atau memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan
yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin
memahami persamaan dan perbedaan mereka. Perpaduan atau ointegrasi adalah
hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah,
rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu.[17]
5. TIPE
INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Ada beragam konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen
kontemporer Ian Barbour mengajukan konsep yang dikenal sebagai integrasi
teologis. Konsep ini berusaha mencari implikasi telogis atas berbagai teori
ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga
teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi
dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”[18].
Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari
Huston Smith dan Seyyd Hosein Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat
bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan
bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang lain adalah John F.
Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi
yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya
pada pandanga dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan
apriori, misalnya tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya
juga mengandung ‘keyakinan’ apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas
benda-benda yang tertata secara rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai
pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun[19].
Ilmu sebagaimana agama mempunyai aspek kepercayaan (Fiduciary). Tanpa
unsur kepercayaan ini, ilmu tidak memiliki rangsangan untuk mengupayakan
kebenaran[20].
Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan
agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi
menempatkan agama sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat
kerinduan akan pengetahuan dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu.
6.
INTEGRASI ILMU
DAN AGAMA PERSPEKTIF MULLA SADRA
Apakah hubungan ilmu dan agama berada
pada posisi konflik, independensi, dialog atau integrasi masih menjadi
perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk memahami pada posisi
mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mulla Shadra mempunyai pandangan
filosofis, terutama dalam bidang ontology dan epistemologi yang menunjukan
karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak
pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip
penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:
1. Tauhid
(Keesaan Allah)
Keesaan
Allah adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam konsep ini berimplikasi
pada kesatuan ciptaan yakni keterhubungan bagian-bagian alam, dan selanjutnya
berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tapi bukan saja menjadi kerangka
keimanan yang menjadi dasar keyakinan umat Islam kepada Allah, namun juga
merupakan kerangka pemikiran yang membangun integritas kebenaran. Pandanga
tauhid ini didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu:
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î)
ÓÏnºur (
Hw tm»s9Î)
wÎ) uqèd
“Dan Tuhan
kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia”.(Q.S.2:163).
ôMs9$s% óOßgè=ßâ
Îûr& «!$#
A7x© ÌÏÛ$sù
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
“Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan
bumi” (Q.S.14:10).
Pandangan uniter dalam keilmuan diyakini oleh ilmuwan muslim
sejak masa lampau. Mereka tidak mengutamakan satu bidang ilmu atas yang lain,
namun satu ilmu selalu terkait dengan bidang ilmu yang lain. Akan tetapi,
dewasa ini hampir-hampir tidak terjadi dialog antara ilmu terutama ilmu alam
dan ilmu sosial humaniora.
2. Keyakinan
pada realitas Adikodrati dan keterbatsan pengetahuan manusia.
Al-Qur’an
menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kaian dari rahim ibu
kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian
pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78).
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9 crãä3ô±s?
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.
Ayat
ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang
diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan
alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan
penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus
melalui bimbingan wahyu agar tidak mengalami pemahaman yang salah.
Sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an[21]
(6:50)
@è%
Hw
ãAqè%r&
óOä3s9
ÏZÏã
ßûÉî!#tyz
«!$#
Iwur
ãNn=ôãr&
|=øtóø9$#
Iwur
ãAqè%r&
öNä3s9
ÎoTÎ)
î7n=tB
(
÷bÎ)
ßìÎ7¨?r&
wÎ)
$tB
#Óyrqã
¥n<Î)
4 ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
4yJôãF{$#
çÅÁt7ø9$#ur
4 xsùr&
tbrã©3xÿtGs?
Aritinya:Katakanlah
(Muhammad) aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada
padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku
mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan
yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)
Dua ayat tersebut menegaskan keyakinan
bahwa ada realitas yang adikodrati yang menguasai, memberikan sarana dan
mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian tidak semua ilmu dapat dikuasai
manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.
3. Keyakinan
pada alam yang memiliki tujuan
Dalam
pandangan Al-Qur’an , Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran
tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Sebagaimana yang diungkap dalam
firman-Nya, (Q.S. 38: 27).
$tBur
$uZø)n=yz
uä!$yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur
$tBur
$yJåks]÷t/
WxÏÜ»t/
4
y7Ï9ºs `sß
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
4 ×@÷uqsù
tûïÏ%©#Ïj9
(#rãxÿx.
z`ÏB
Í$¨Z9$#
Artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang
kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.
Pandangan
Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengan konsep kehidupan akhirat.
Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah
kalian mengira bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23:
115)[22].
Pemahaman Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam
terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam
yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan
kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
4. Komitmen
pada nilai-nilai moral
Komitmen
moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak
manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an:
“Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S.62:2). Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Diantara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.
“Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S.62:2). Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Diantara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.
7.
INTEGRASI
ONTOLOGI ILMU DAN AGAMA
Ontologi adalah salah satu cabang
filsafat yang membincang masalah ‘yang ada’, baik bersifat fisik maupun
non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada, sehingga
seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang
realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut
sebagai Filsafat Pertama[23].
Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga
hal, yaitu mustail ada, mungkin ada dan wajib ada. Yang dimaksud dengan
‘mustahil ada’ adalah sesuatu yang keberadaannya bersifat mustahil, yang tidak
ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Adapun ‘mungkin ada’ adalah
sesuatu yang keberadannya bersifat mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak
ada. Keberadaan sesuatu yang mungkin ini sangat bergantung pada sesuatu yang
menjadi penyebab keberadaanya. Misalnya ‘kursi’ akan ada bila terdapat kayu
atau besi yang meminjam pandangan Aristoteles menjadi sebab bahannya (kausa
material), terdapat sebab bentuk (kausa formal), terdapat subjek manusia yang
merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (sebab efisien), serta
ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk (kausa
final). Sedangkan ‘wajib ada” adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia
ada tidak karena sesuatu yang lain namun justru menjadi penyebab atas
keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa
Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Pandangan ontologi Mulla
Shadra dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud. Dalam khasanah pemikiran
Islam diantara tema-tema matafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi
filosofis adalah problem wujud ini.
Konsep wujud (mafhum wujud)
digambarkan seperti pemahaman atas pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu
ada”. Setiap orang dengan segera akan memahami pernyataan tersebut tanpa
melalui refleksi yang mendalam karena terjadi secara natural dan spontan.
Sesorang tidak perlu belajar untuk dapat memahami pernyataan tersebut. Akan
tetapi tidaklah mudah untuk memahami realitas wujud (hakikat wujud) karena
sedemikian jelasnya konsep ini. Analoginya bahwa wujud sedemikian terangnya
seperti matahari oleh karena demikian terangnya sehingga tidak mungkin dapat
dilihat. Konsep wujud Mulla Shadra terdiri atas tiga prinsip yang mendasar,
yaitu: Wahdah Al-Wujud, Taskik Al-Wujud dan Asalah Al-Wujud.
1. Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud)
Pandangan wahdah al-wujud ini
diadopsi Mulla Shadra dari konsep mistisme yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi,
wahdah al-wujud adalah pilar utama pemikiran Ibnu Arabi sehingga banyak pemikir
selalu mengosiasikan wahdah al-wujud dengan tokoh ini. Ibnu Arabi berpendapat
bahwa rasio meiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan bawah dan kekuatan atas.
Kekuatan bawah berhubungan dengan
panca indera dan pikiran. Kekuatan ini tidak dapat menacapai dzat dan sifat
Allah. Adapun kekuatan atas merupakan akal murni, pemeberian dari al-Haqq
karena ma’rifat kepada-Nya. Penyingkapan (kasf) menurut Ibnu Arabi adalah
satu-satunya cara untuk mencapai ma’rifat hakiki[24].
Dalam konsep hubungan antara Allah dan manusia menurut Ibnu Arabi adalah
hubungan antara Khaliq dan makhluk. Manusia sempurna tidak akan mengklaim bahwa
dirinya memiliki bau ketuhanan dan tidak mengatakan seperti “Aku adalah al-Haqq
”, melainkan mengaku sebagai hamba sejati yang mendekatkan diri kepada
Pencitnya dengan penuh kerendahan diri. Hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan.
2. Tasykik al-Wujud (Gradasi wujud)
Tasykik mengandung arti menjadi
“lebih atau kurang” atau menjadi “lebih atau kurang”. Dari pengertian ini,
keadaan berbagai hal yang mengandung ciri-ciri lebih dulu atau lebih kemudian,
lebih sempurna atau tidak lebih sempurna, lebih kuat atau lebih lemah. Prinsip
ini menyatakan bahwa meskipun wujud merupakan suatu realitas tunggal yang pada
dasarnya adalah sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada
adalah penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal terebut,namun ia juga
menjadi prinsip pembeda[25].
Ada dua proposisi yang mengandung prinsip tasykik al-wujud. Pertama,
bahwa wujud merupakan sifat umum yang secara aquivokal menyifati seluruh yang
ada (prinsip persamaan). Kedua, bahwa secara univokal realitas hanya
menjadi wujud semata (prinsip pembedaan).
Karakter wujud yang
demikianlah yang memungkinkan terjadinya gerak evolusioner. Mulla Shadra
mengakui prinsip ketunggalan wujud, namun dalam wujud yang tunggal tersebut
sesungguhnya memiliki gradasi atau tingkatan. Mulla Shadra juga mengembangkan
prinsip iluminasi dari Syuhrawardi tetapi memiliki perbedaan yang sangat
mendasar. Kalau Syuhrawardi memandang bahwa gradasi ini terjadi pada mahiyah
(kuiditas), Shadra memahaminya pada wujud. Salah satu sumbangsih Mulla Shadra
yang sangat berharga dalam bidang ontologi adalah konsepnya tentang gerak
substansial (Al-Harakah Al-Jauhariyah). Konsep ini menyatakan bahwa: Pertama,
tingkat-tingkat wujud tidaklah tetap dan statis tetapi terus bergerak mencapai
bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi secara terus-menerus. Kedua, wujud
dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi. Ketiga, gerak alam semesta
yang tidak dapat dibalik (satu arah) berakhir pada manusia sempurna yang
menjadi anggota alam ketuhanan dan bersatu dengan sifat-sifatnya. Keempat,
masing-masing tangga wujud yang lebih tinggi meliputi dan melampaui semua tangga
yang lebih rendah. Dengan kata lain, realitas sederhana adalah segala sesuatu,
yakni semakin tinggi realitas, semakin sederhana dan semakin meliputi. Kelima,
semakin tinggi tingkat wujudnya semakin sedikit esensinya.
Bagi ketiga tokoh ini jiwa dan raga
merupakan dua hal yang terpisah. Plato berpandangan bahwa jiwa ada sebelum
tubuh, setalah tubuh ada jiwa bergabung dengannya. Aristoteles dan Ibnu Sina
barpandangan bahwa jiwa dan raga tercipta secara serentak dalam waktu yang
sama. Descartes berpendapat bahwa terdapat dinding pemisah antara jiwa dan
raga, bahkan dikatakan jiwa terpenjara di dalam tubuh.
Mulla Sadra berpendapat bahwa tubuh
akan berubah menjadi ruh (murni) dalam proses penyempurnaan. Ruh bukanlah
sesuatu selain dari keseluruhan tubuh itu sendiri. Tidak ada pertentangan
diantara keduanya. Tidak ada dualism dan tidak ada penyatuan, yang ada adalah
penyempurnaan. Seperti kaidah “al-nafs jismaniyyah al-hudust al-baqa’
(jiwa bermula secara material dan berkelangsungan secara spritual)[26].
3. Asalah al-Wujud (kehakikatan wujud)
Konsep Asalah telah memunculkan
persoalan dokotomis antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (kuiditas).
Pertanyaan yang muncul adalah diantara wujud dan mahiyah, manakah yang
benar-benar real secara fundamental. Murtadha Muthahhari, menunjukkan ada empat
pandangan dalam masalah ini, yaitu:
a.
Wujud adalah penampakan (appearance) yang tidak hakiki
(real). Pandangan ini dipegang teguh oleh syaikh Al-Isyraq Suhrawardi.
b.
Wujud adalah kenyataan hakiki yang manunggal, tidak ada
kemajemukan sama sekali di dalamnya. Pandanga ini banyak dianut oleh kalangan
arif.
c.
Wujud adalah kenyataan hakiki yang majemuk, eksistensi
setiap maujud merupakan realitas yang berbeda dengan maujud-maujud lain.
Pandangan ini diduga dianut oleh kaum peripatetik, meskipun deugaan ini
diragukan oleh Murtadha Muthahhari.
d.
Wujud adalah kenyataan hakiki yang sekaligus bersifat
manunggal dan majemuk, wujud merupakan realitas bergradasi dengan derajat yang
beragam. Pandangan ini didasarkan pada para pemikir pahlawi dari Iran kuno
Mulla
Sadra berpandangan bahwa setiap wujud kontingen atau mungkin (mumkin al wujud)
terdiri atas dua pola perwujudan, yaitu eksistensi dan kuiditas. Diantara dua
pola ini yang benar-benar real adalah wujud, sedangkan mahiyah tidak lebih
daripada penampakan (I’tibar) belaka. Pandangan Sadra ini bertolak belakang
dengan pandangan gurunya, Mir Damad, demikian juga Suhrawardi yang memahami
mahiyah sebagai realitas yang mendasar (asalah al-mahiyah).
Mulla
Sadra Sebagai penggagas prinsip asalah al-wujud, mempunyai pandangan sebaliknya
dari Suhrawardi. Kalau Suhrawardi menyatakan bahwa wujud tidak terkait dengan
realitas apapun di dunia eksternal, Mulla Sadra berpandangan bahwa tidak ada
yang benar-benar real kecuali wujud. Wujud tidak dapat dipahami oleh pikiran
secara konseptual dan ide-ide umum, sebagaimana mahiyah yang memang hanya
muncul dalam pikiran sebagai fenomena mental belaka, tidak mengada per se. wujud
adalah realitas primordial, yang dengannya sesuatu yang lain menjadi ada. Wujud
tidak memerlukan wujud yang lain agar teraktualisasi sebab wujud pada dirinya
sendiri adalah aktualisasi itu sendiri. Oleh karenanya meskipun jelas
keberadaannya namun tidak mudah dipahami, hal ini sebagaimana dikatakan
Mulla Sadra:
“semua gagasan yang timbul dari
pengalaman kita tentang dunia eksternal dan yang sepenuhnya ditangkap oleh
pikiran, maka esensi mereka tersimpan dalam pikiran meskipun mode wujud mereka
tersimpan dalam pikiran, tetapi karena hakikat wujud di luar pikiran dan segala
sesuatu yang hakikatnya di luar pikiran tidak mungkin masuk ke dalam pikiran,
atau juga hakikatnya akan benar-benar ditransformasikan, karenanya wujud tidak
dapat secara konseptual diketahui oleh pikiran ”
Dalam khasanah pemikiran islam, Mulla Sadra
dikenal sebagai penganut eksistensialisme (wujudiyah), namun tentu
eksistensialisme berbeda dengan eksistensialisme Barat yang dikembangkan oleh
Kierkegaard, Jean Paul sarte, Heidegger. Eksistensialisme Barat sebenarnya
tidak berbicara persoalan yang terkait dengan eksistensi itu sendiri, mereka
hanya berbicara persoalan yang terkait dengan eksistensi manusia setelah materialisme
dan idealisme gagal memahaminya. Sementara eksistensialisme Sadra berusaha
mengungkap realitas ‘ada’ yang sebenarnya hingga menemukan konsep tentang The
Ultimite reality. Oleh karenanya
eksistensialisme Sadra sangat teistik sedang eksistensialisme Barat lebih
ateistik karena menjadikan manusia sebagai pusat eksistensi.
Berdasarkan atas konsep Mulla Sadra tentang
kesatuan Wujud maka jelaslah bahwa secara ontologis hubungan ilmu dan
agama adalah integrative, yaitu merupakan satu kesatuan wujud. Ilmu dan agama
adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, keduanya
menyatu dalam satu realitas wujud. Namun, dalam kesatuan realitas tersebut ilmu
dan agama juga bersifat gradatif, memiliki tingkatan-tingkatan wujud. Persoalan
kemudian adalah tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan realitas wujud
itu. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan yang dapat digunakan adalah
solusi yang diajukan Mulla Sadra dalam menjawab perselisihan pandangan antara
mu’tazilah dan Asy’ariyyah tentang hubungan Al-qur’an dengan Allah[27].
PENUTUP
C. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada
persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat
yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci)
telah dipandang cukup untuk menjelaskan tidak ada pertentangan antara ilmu dan
agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut bersal dari Yang
satu. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya dalam al-Qur’an ayat-ayat
yang berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berfikir dan mengembangkan
ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan
berilmu.
2. Ragam integrasi antara sains dan agama merupakan salah satu
tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik (conflict), perpisahan (independence),
dialog - perbincangan (dialogue), dan integrasi-perpaduan (integration.).
3. Integrasi teologis. Konsep ini
berusaha mencari implikasi telogis atas berbagai teori ilmiah mutakhir,
kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi
tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat
berubah atas nama “belajar dari ilmu”. John F. Haugat. menggunakan istilah konfirmasi
sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan
ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandanga dasar agama tentang realitas.
4. Beberapa
prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah: keesaan Allah
(tauhid), keyakinan pada realitas dan keterbatasan pengetahuan manusia,
keyakinan pada alam yang memiliki tujuan, komitmen pada nilai-nilai moral.
5. Berdasarkan atas konsep Mulla Sadra
tentang kesatuan Wujud maka jelaslah bahwa secara ontologism hubungan
ilmu dan agama adalah integrative, yaitu merupakan satu kesatuan wujud. Ilmu
dan agama adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,
keduanya menyatu dalam satu realitas wujud.
DAFTAR RUJUKAN
Acikgenc Alparslan, 1993, Being and Existence in Sadra and
Heidegger, International Institute of Islamic Thouhgt and Civilization,
Kualalumpur.
Abidin
Bagir ,Zainal, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interprestasi dan Aksi, MYIA-CRCS
dan Suka Press, Yogyakarta.
Abdul
Mujib, Muhaimin, Jusuf Mudzakkir,2005, KawasaN dan Wawasan Studi Islam, Jakarta,
Kencana.
Badan
Penerbitan Filsafat UGM, 2010, Integrasi
Ilmu Agama Perspektif filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta, Penerbit Lima
Bagus Loren, 1991, Metafisika, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Mulyono Bashori,2010 , Ilmu
Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka Sayid Sabiq.
Depertemen Agama RI edisi tahun 2002, al-Qur’an dan Terjemahnya,
CV.Penerbit J-ART, Bandung.
Hady, Samsul, 2007, Peta pemikiran pada masa rainaisans islam,
dalam Lutfi Mustafa dan Helmi Syaifuddin (editor), Intelektual Islam,
melacak akar integrasi Ilmu dan Agama, LKQS & UIN Malang, Malang.
Hilal Ibrahim, 2002, Tasawuf antara Agama dan Filsata, Pustaka
Hidayah, Bandung.
Haught, Jonhn F.,2004, Science and Religion: From conflict to
Conversation, terjemahan Fransiskus
Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama:dadri konflik ke dialog, Mizan,
Bandung.
Watt, Montogomery, The influence of islam on medivel Europe, terjemahan
Hendro P, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh islam atas eropa abad
pertengahan, Gramedia, Jakarta,
[1]Badan Penerbitan Filsafat UGM, Integrasi
Ilmu Agama Perspektif filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta, Penerbit Lima,
2010, 33
[2] Drs. Bashori, Mulyono, Ilmu
Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka sayid sabiq, 2010, 10
[3] Op cit: 34.
[4]
Drs. Bashori, Mulyono, Ilmu
Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka sayid sabiq, 2010, 25
[5] Prof. Dr. Muhaimin, Dr. Abdul
Mujib, Dr. Jusuf Mudzakkir, KawasaN dan Wawasan Studi Islam, Jakarta,
Kencana, 2005, 31
[6]
Prof. Dr.
Syamsul Arifin, kumpulan materi Filsafat Ilmu Integrasi Islam dan Sain, 36
[7] Ibid, 37
[8]
Montogomery Watt, The
influence of islam on medivel Europe, terjemahan Hendro P, Islam dan
Peradaban Dunia: Pengaruh islam atas eropa abad pertengahan, Gramedia,
Jakarta, 122
[9] Disarikan dari Samsul Hady, Peta
pemikiran pada masa rainaisans islam, dalam Lutfi Mustafa dan Helmi Syaifuddin (editor),
Intelektual Islam, melacak akar integrasi Ilmu dan Agama, LKQS & UIN
Malang, Malang 2007
[10]
A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam, George Allen dan Unwin Ltd,
London, 1956, 106
[11] Ian
Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers? 2000,
terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, (Bandung:
Mizan, 2002), 44
[12] Ian Barbour, When
Science Meets Relegion, 54
[13] Ian
Barbour, When Science Meets Relegion, 44
[14] Teori
yang mengatakan bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari
[15]
John F. Haught, Science and Religion: from conflict to Conversation, terjemahan
Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama: dari Konflik ke Dialog, Mizan,
Bandung, 2004, 7-9
[16]
Ibid, 13
[17] Ian Barbour, When
Science Meets Relegion, 44
[18]
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama Interprestasi dan Aksi, MYIA-CRCS
dan Suka Press, Yogyakarta, 2005, 21
[19]
Ibid, 21-23
[20]
Jonhn F. Haught, Science and Religion: From conflict to Conversation, terjemahan
Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama:dadri konflik ke dialog, Mizan,
Bandung, 2004, 28
[21]
Depertemen Agama RI edisi tahun 2002, al-Qur’an dan Terjemahnya, CV.Penerbit
J-ART, Bandung, 2002
[22]
Ibid,
[23]
Loren Bagus, Metafisika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, 19
[24]
Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsata, Pustaka Hidayah,
Bandung, 2002, 142
[25]
Alparslan Acikgenc, Being and Existence in Sadra and Heidegger, International
Institute of Islamic Thouhgt and Civilization, Kualalumpur, 1993, 130
[26]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’a, jilid 1, Taheran, 1387 H, 65
[27]
Sadra, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an adalah ciptaan yang terpisah
dengan Penciptanya, sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya, bahwa Al-qur’an merupakan
tindakan abadi Allah oleh karenanya ada dalam atau identik dengan diri-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar