Rabu, 02 Oktober 2013

INTEGRASI AGAMA DAN SAIN



INTEGRASI ILMU DAN AGAMA

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Agama Islam menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS. Al – Mujaadilah, 58:11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash baik al-qur’an maupun al-sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu bahkan wahyu yang pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu yakni perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam QS al-‘Alaq.

ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  

Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq, 96: 1- 5)

Umat Islam mendapatkan semangat yang luar biasa karena banyak sekali perintah atau nash yang menyinggung masalah keilmuan. Hal ini bisa dilihat padamasa awal Islam, banyak sekali egiatan pengembangan ilmu pengetahuan,bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal dari gama dan peradabanselain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan buku-buku dari Yunani anPersia (Ahmad Y al-Hasan dan Donald R. Hill, 1993: 56-59). Namun usaha yangdilakukan tidak rbatas sebagai penerjemah saja, tapi juga memberikan tambahan berupa saran dan kritik terhadap ilmu ang dipelajari dari luar tersebut dan jugamengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan suatuteori baru.
Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal (QS Yunus, 10: 101; QS al-Rad, 13: 3), yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.
Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi mala petaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan (Abudin Nata, 2005: 6). Menurut M Amin Abdullah (pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: ii), Ibnu Rusyd merupakan ilmuwan muslim pertama yang menggunakan metode integralistik-teosentrik.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama dibawah naungan DEPAG (Departemen Agama) sedangkan lembaga pendidikan yang umum berada dibawah DEPDIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional). Pandangan masyarakat terhadap kedua tipe lembaga pendidikan ini mengisyaratkan secara implisit bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum memang harus dipisah (M Amin Abdullah, pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: xiii).
Upaya integrasi ilmu dan agama di Indonesia telah diupayakan oleh para pemikir Muslim dan penentu kebijakan. Sebagai contoh adanya upaya untuk merubah lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN) menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga beberapa IAIN telah dirubah menjadi UIN. Mau tidak mau dalam mata kuliah UIN harus mengandung mata kuliah ilmu pengetahuan umum dan mendirikan fakultas non-agama Islam (Adian Husaini, 2008: 54-64).

2.      RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, perlu kita rumuskan dengan tujuan, supaya pembahasan ini terarah dan tidak keluar dari permasalahan.
1.      Bagaimana integrasi ilmu dan Agama?
2.      Bagaiamana Ragam Integrasi Ilmu dan Agama?
3.      Bagaimana Tipe Integrasi Ilmu Dan Agama?
4.      Bagaimana Integrasi Ilmu Dan Agama Perspektif Mulla Shadra?
5.      Bagaimana Integrasi Ontologi Ilmu Dan Agama?
3.      TUJUAN PENULISAN
Dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan ini adalah:
1.      Untuk mendiskripsikan Integrasi ilmu dan agama
2.      Untuk mendiskripsikan ragam Integrasi Ilmu Dan Agama
3.      Untuk mendiskripksikan Tipe Integrasi Ilmu dan Agama
4.      Untuk mendiskripsikan Integrasi Ilmu dan Agama Persepektif Mulla Sadra
5.      Untuk mmendiskripsikan Integrasi Ontologi Ilmu dan Agama

B.     PEMBHASAN
1.      Pengertian Ilmu
Ilmu merupakan istilah yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama[1].
Menurut Syamsuddin Abdullah dalam bukunya ilmu agama adalah suatu semangat yang berusaha untuk memahami hubungan antarobyek dan merumuskan tata cara bekerjanya. Pada mulanya ilmu pengetahuan dipergunakan untuk kebutuhan yang sangat mendesak yang ahkirnya berkembang menjadi suatu kerangka  berfikir yang mengandung nilai-nilai teoritis mengenai penjelasan gejala-gejala ilmiah[2].
Ilmu dapat pula dibedakan berdasar maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam pengertian pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systemic boday of knowledje). John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowladje collected by means of the scientific method).
Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti tahu. Dalam bahasa inggris disebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktivitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science is the process which makes knowladje). Sebagai aktivitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. Titus mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang obyektif dan dapat membuktikan kebenarannya[3].
Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan ialah menarik antarhubungan antara gejala-gejala yang ada di alam lahir dan untuk ditegakkan hukum sebab akibat. Selanjutnya diakui bahwa segala gejala-gejala alam adalah sungguh-sungguh berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan didalam alam ini tidak ada yang terjadi yang secara kebetulan. Oleh karena itu, dapat diambil suatu catatan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang tersusun secara sistematis dengan mempergunakan kekuatan akal pikiran yang selalu dapat diperiksa oleh setiap orang yang ingin mengetahui secara mendalam dan obyektif.
Sedangkan ilmu pengetahuan menurut ruang lingkupnya dapat dibagi menjadi tiga cabang yaitu:
1.      Natural sciences, yaitu ilmu pengetahuan alam yang mempelajari gejala-gejala alam baik yang hayati (hidup) misalnya biologi, maupun yang non hayati (mati) misalnya fisika.
2.      Humanities sciences/humaniora yaitu suatu ilmu pengetahuan yang obyek garapannya adalah masalah kerohanian yang mempelajari manifestasi spiritual dari kehidupan bersama, dan termasuk dalam kelompok ini meliputi: filsafat, ilmu agama dan ilmu bahasa serta seni.
3.      Sosial sciences, adalah suatu ilmu pengetahuan yang obyektif garapannya masalah masyarakat. Ia adalah kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan manusia dengan sesamanya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: hukum, politik, antropologi, sosiologi, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
2.      Pengertian Agama
Dalam musyawarah antar agama dijakarta, 30 Nopember 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subyektif. Kedua, membahas pengertian agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan yang memberikan pengertian agama tersebut.
Kata agama yang telah masuk pada perbendaharaan bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari dua perkataan yaitu: A dan Gama. A berarti kocar-kacir, berantakan. Maka kata agama merupakan penyatuan dari dua kata A dan Gama yang artinya tidak kocar-kacir, teratur. Dan sama dengan perkataan Griek yaitu agama berarti Chaos atau tidak berantakan. Jadi agama adalah suatu peraturan yang tidak kocar-kacir dan juga berarti taratur rapi[4].
Dalam bahasa arab agama itu diterjemahkan dengan Ad-dien atau millah. Perbedaan antara keduanya ialah kalau Ad-dien dinisbatkan kepada Allah, sehingga orang boleh mengatakan Dienullah (agama Allah). Sedangkan Millah dinisbatkan kepada Rasul yang membawa agama, sehingga disebut Millatu Ibrahim (agama ibrahim). Sedangkan Ad-dien itu sendiri mempunyai arti bermacam-macam antara lain, cara atau kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasehat dan agama.
Menurut Sidi Gazalba[5] bahwa istilah al-dein lebih luas pengertiannya dari pada istilah agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi hubungan manusia dengan Tuhan saja, sedangkan al-dein berisi hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan menurut Zainal arifin Abbas, kata al-dein (memakai awalan al-ta’rif) hanya ditujukan kepada Islam saja, dan selainnya tidak demikian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 19, di mana Allah hanya mengakui Islam sebagai agama yang sah,
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` ÞOù=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3tƒ ÏM»tƒ$t«Î/ «!$#  cÎ*sù ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ  
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.


3.      INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut bersal dari Yang satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra’), sejalan pula dengan misi nabi Muhammad saw, untuk membrantas kebodohan (jahiliyah), sebagai lawan dari berfikir rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berfikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menunutut ilmu merupakan satu pencarian religious[6].
Hadits nabi saw, yang mengatakan “tuntutlah ilmu sampai kenegeri Cina”, juga menunjukkan bahwa menuntut ilmu tidak hanya ditujukan pada ilmu agama. Ungkapan “negri Cina” dalam hadist tersebut, tentu dapat dipahami bahwa cina bukanlah tempat yang tepat untuk mempelajari ajaran Islam. Al-Qur’an, dalam surah al-Baqarah ayat 102, juga mengecam mereka yang mencari pengetahuan tetapi tidak berguna bagi dirinya. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak member manfaat kepada mereka.
Ilmu dan agama meskipun tidak ada persoalan, namun sejarah mencatat keduanya mengalami pendikotomian, terutama ketika al-Ghazali memisahkan antara ilmu agama sebagai ilmu wajib dan ilmu umum sebagai ilmu sunnah. Demikian pula berkembangnya tasawuf yang memalingkan umat Islam pada kesalehan individual dengan meninggalkan persoalan keduniawian. Di Indonesia, selama bertahun-tahundikotomi tersebut terlihat pada pemilahan bidang kajian, yaitu kajian keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi agama seperti IAIN atau STAIN, adapun keilmuan umum dikembangkan diperguruan tinggi.   
Ernest Renan[7] secara tegas mengatakan bahwa Islam meskipun secara ontologis menganggap tidak ada masalah antara ilmu dan agama, namun Islam bermasalah dengan ilmu modern. Dalam caramahnya di Sorbone pada tahun 1883 yang berjudul L’Islamisme et la science, ia menunjukkan irrasionalitas dan ketidakmampuan masyarakat muslim melahirkan ilmu. Islam memang pernah meletakkan dasar perkembangan keilmuan, namun ilmu modern tidak lahir dari rahim kaum muslim.
Pandangan ini mendapat komentar balik dari Jamal al-Din afghani bahwa tidak mungkin terjadi benturan ilmu dan agama, baik tradisional maupun modern, dan ilmu barat modern tidak lain dari ilmu Islam asli yang dikirim kembali melalui Rainaissans dan Pencerahan kedunia Islam. Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam ilmu modern, akan tetapi tafsiran materialistik atas ilmulah yang menjadi inti kontroversi agama dan ilmu.
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa peradaban Barat dapat mengalami kemajuan seperti saat ini setelah mengadopsi keilmuan yang berkembang di dunia Islam. Montogomery watt[8] dalam hal ini menjelaskan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di dunia Islam eropa pada masa lalu telah mampu menyebabkan perasaan rendah diri (inferior) di kalangan Barat.
Pandangan Ernest Renan sebagaimana tersebut di atas tentu tidak memiliki dasar kuat yang didukung oleh fakta sejarah. Uraian berikut akan memberikan gambaran bagaimana kemajuan ilmu telah dicapai di dunia Islam, bagaimana Islam telah memberikan kontribusi pada perkembangan keilmuan di Barat, sekaligus membuktikan kesalahan pandangan Renan akan ketidak mampuan masyarakat muslim melahirkan ilmu. Berikut adalah beberapa diantara ilmuan muslim yang telah mewarnai perkembangan keilmuan modern[9].
1.      Ilmuan Kimia
1.      Jabir ibnu Hayyan (Latin: Geber, 721-815) mengembangkan ilmu empiris berupa observasi, pengukuran dan penalaran. Ia filsuf dan ahli logika, bekerja dibidang fisika dan kedokteran. Karya utamanya dalam bidang kimia, ahli bidang kristalisasi, sublimasi, distilasi, kalsinasi, serta berhasil membuat berbagai jenis asam.
2.      Ilmu Fisika
1.      Hasan ibnu Haytsam (dikenal dengan nama alhazen, 965-1039), menambahkan pandangan Ibnu Hayyan dalam ilmu empiris dengan konsep anasir hipotesis (patokan duga) dan verifikasi dengan eksperimentasi. Ia seorang fisikawan juga ahli matematika yang menggabungkan aljabar dengan geometri analitik. Karyanya sebagian dibidang astronomi dan dalam bidang kedokteran. Ia menulis kitab al-Manazir yang membahas anatomi mata dan juga menulis hukum-hukum pantulan, pembiasan cahaya.
2.      Al-Kindi (nama latinnya Alkindus, 800-873), menulis buku fisika tentang optika geometris, cabang fisika yang mempelajari jalan sinar, gelombang bunyi dan musik. Selain itu ia menulis bidang kimia, geografi, kedokteran dan matematika. Beberapa abad kemudian memberikan inspirasi bagi ilmuan eropa seperti Ragon Bacon.
3.      Ilmua Biologi
a.       Ad-Damiri, nama lengkapnya Muhammad bin Musa bin Isa Kamal ad-Din ad-Damiri, dikenal sebagai ahli ilmu hewan terbesar. Ia lahir di Kairo sekitar tahun 742 H/1341 M, meninggal tahun 808 H/1405 M. Damiri dikenal sebagai ahli hukum, ilmu hadits, tafsir al-qur’an dan filologi Arab.
b.      Al- Jahiz, nama lengkapnya Abu Uthman bin Bahr (Ibnu Mahbub) Al fuqayan Al-Basri al-jahiz, lahir dari Irak tahun 160 H. Ia adalah penulis prosa dan sastra yang sangat terkenal dalam sejarah sastra Arab. Sebagai pakar biologi ia berhasil menciptakan teori-teori embrionik dan pencetus konsep evolusi organic. Karya terkenalnya adalah kitab Al-hayawan yang didalam dijumpai teori-teorik embrionik tentang evaluasi spesies, pengaruh iklim dan psikologi kehewanan.
4.       Ilmu Kedokteran
a.       Ibnu Masawayh, nama lengkapnya Abu Zakariya Yuhana Ibnu Masawyh, meninggal tahun 249 H/857 M. Ia dikenal dengan dokter spesialis diet. Karya terpentingnya adalah an-Nawadir ath-Biyyah, yaitu kumpulan aphorisme medis dan kitab Al-Azmina, deskripsi tentang berbagai ragam masini sepanjang tahun.
b.      Ibnu Sina (nama latinnya Avicena, 980-1037), dikenal sebagai diraja dokter dan penemu berbagai macam ilmu. Karya terpentingnya adalah Qanun al-Tibb menjadi buku teks selama sekitar lima abad di berbagai perguruan tinggi eropa. Dia juga melakukan analisis berbagai bentuk energi, panas, gerak, cahaya serta analisis konsep gaya dan vakum.
5.      Ilmuan matematika
1.      Al- Hawarizmi (dikenal dengan nama Algorism, w. 840) memperkenalkan bilangan dalam ilmu hitung dan aritmatika. Dia menulis buku Al-jabr wa Al-muqabalah. Algorithm namanya kemudian dikenal menjadi nama untuk urutan langkah yang harus diambil dalam proses perhitungan, dan aljabar menjadi bagian dari matematika. Dan masih banyak lagi ilmuan muslim yang terlibat dalam proses dan menciptakan konsep terkait dengan ilmu umum, dan ini sekaligus kanterbalik pada segelintiran ilmuan barat bahwa muslim tidak memiliki dalam hal ilmu pengetahuan umum.
Kemajuan keilmuan islam yang telah menandai masa keemasan islam dan secara pesat mempengaruhi perkembangan keilmuan di wilayah yang lain, menurut Fazlur Rahman[10], karena adanya beberapa faktor yang mendukung, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: 1) adanya kemampuan kualitas moral dan spiritual yang dibangun oleh nabi Muhammad saw, yang mampu memberikan tenaga hidup dan kesadaran sebagai pengemban syari’ah. 2) kecanggihan umat islam dalam mengasimilisasikan sistem budaya di luar islam dalam rangka islam. 3) aspek ajaran islam yang mengedepankan humanitarianisme yang telah mempercepat proses islamisasi dikalangan bangsa-bangsa yang dilakukan. Adapun faktor eksternal adalah kelemahan kerajaan Byzantium da Persia setelah kehabisan tenaga karena perang diantara mereka.
Dalam perkembangan keilmuan di barat, wacana hubungan ilmu dan agama bukan hanya dikotomis, tetapi kontradiktif. Berkembangnya paham rasionalisme, emperisme, dan positivisve sebagai anak kandung renaisans telah mengubah paradigm hubungan kedua entitas tersebut. Ketika positivisve mengajukan konsep bahwa ukuran kebenaran harus tunduk pada kaidah-kaidah rasional dan empiris yang terukur dan dapat dieksprimentasi, terjadilah benturan dengan agama yang lebih menekankan pada keimanan wahyu dan kepasrahan total pada otoritas yang supranatural.
Keilmuan modern terkesan ingin menyaingi bahkan menggantikan agama sebagai satu-satunya penafsir realitas dan kebenaran, serta menjadi system pandangan dunia yang menyeluruh sebagaimana dilakukan saintesme. Pandangan neo-positivisve yang disebarkan oleh kelompok ilmuan dan filsuf yang dikenal sebagai lingkungan Wina (Wiener Kries) pada abad ke 20 telah mempersoalkan demarkasi antara pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya secara obyektif yang bermakna. Inilah yang disebut sebagai “asas verivikasi”. Dengan demikian pernyataan tentang keindahan surgsa, kengerian neraka, dan kemahaesaan Tuhan merupakan pernyataan yang tidak bermakna, karena secara empiris tidak dapat dibuktikan.
Selain itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi mana-pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk menunjukkan pola-pola umum mana-pun.[11] Kaum materialisme dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim bahwa “sains” dan “agama” memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam domain yang sama sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan Tuhan sekaligus.[12]

4.      RAGAM INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Ian G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama (terj) dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers?, bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik  (conflict), perpisahan (independence), dialog - perbincangan (dialogue), dan integrasi-perpaduan (integration.).[13]
1.      Konflik, hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara ilmu dan agama dalam melihat satu persogalan. Keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikkan satu dengan yang lain. Menurut Ian Barbour, munculnya konflik antara ilmu dan agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633 karena mengajukan teori Coperncus[14] dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kotab suci yang meyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris). Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara limu dan agama adalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19. Sejumlah ilmuan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan kebenaran kitab suci tidak dapat dipertemukan. Kaum Literalis Biblikal memahami bahwa alam semesta diciptakan Tuhan secara langsung (kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam semesta terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme). Pada era sekarang pandangan konflik dapat pula dilihat dalam pemikiran kaum skeptis, yang memandang bahwa ilmu dan agama memiliki banyak perbedaan yang mendasar sehingga tidak dapat didamaikan. Agama bersal dari keyakinan dan resisten terhadap perubahan, sedangkan ilmu berawal dari keraguan dan setiap saat akan mengalami perubahan. Penganut skeptisme mengatakan bahwa agama dilandasi oleh asumsi-asumsi yang apriori sebagai kebenaran yang given, sedangkan ilmu dilandasi asumsi yang aposteriori, yang begitu saja menerima sesuatu sebagai yang benar. Agama berdasar pada keimanan yang dogmatis, sedangkan ilmu bertumpu pada fakta yang diamati.
2.      Independensi, menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama berada pada ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan agama memiliki tolok ukur kebenaran yang berbeda sehingga agama tidak boleh dinilai menggunakan tolok ukur ilmu, demikian pula sebaliknya. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya[15]. Karl Barth berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan pokok persoalan yang berbeda. Ilmu dibangun berdasar pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Francis Bacon, demikian pula Newton, mengatakan bahwa sikap ilmiah sejati berangkat dari keberanian berfikir dan mengamati sendiri tanpa berdasar pada otoritas apapun, sementara sikap dasar agama adalah kepercayaan dan kepasrahan pada otoritas lain terutama otoritas Tuhan. Oleh karenanya ilmu dan agama harus berjalan sendiri-sendiri tanpa ada campur tangan satu dengan yang lain. Ilmu memusatkan perhatian pada bagaimana segala sesuatu terjadi di ala mini, sedangkan agama pada mengapa sesuatu itu terjadi dan ada (eksis). Ilmu berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan makna. Ilmu berurusan dengan berbagai masalah yang dapat dipecahkan, sedangkan agama berurusan dengan misteri yang tidak mudah dipecahkan. Ilmu berusaha menjawab berbagai persoalan menyangkut cara kerja alam, sedangkan agama berurusan dengan landasan terakhir dari alam. Ilmu memberi perhatian pada kebenaran particular sedang agama tertarik untuk menjelaskan kebenaran universal[16].
3.      Dialog, pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Menurut Barbour, pendekatan ini membantu tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat orang putus asa. Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik maupun normatif. Hubungan dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri. Misal dengan menanyakan mengapa alam semesta serba teratur dan dapat dipahami. Dalam banyak hal agama juga memerlukan metode yang dikembangkan ilmu untuk lebih memantapkan keyakinan agamanya, atau memahami realitas yang tidak melulu dijawab dengan keyakinan.
4.      Integrasi, ada dua makna dalam tipologi ini, pertama bahwa integrasi mengandung makna implisit “reintegrasi”, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah, kedua integrasi mengandung makna “unity”, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama popular dibarat karena kenyataan sejarah menunjukkan keterpisahan itu. Adapun makna yang kedua lebih banyak berkembang di dunia islam karena secara ontologism dipakai bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembahasan al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan. Kalaupun terjadi pertentangan dipahami sebagai perbedaan interpretasi manusia dalam memahami al-Qur’an ataupun alam. Menurut Immanuel Kant, perbedaan yang terjadi hanya pada kawasan fenomena tidak pada kawasan noumena.Integrasi tidak dipahami sebagai peleburan. Menurut Ian Barbour dan John Haught, peleburan dapat berimplikasi pada penghilangan identitas yang justru menghasilkan absurditas pada keduanya.
Pertentangan antara sains dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah hubungan yang bertelingkah (conflicting) dan dalam kasus yang ekstrim barangkali bahkan bermusuhan (hostile). Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan mereka. Perpaduan atau ointegrasi adalah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu.[17]

5.      TIPE INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Ada beragam konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen kontemporer Ian Barbour mengajukan konsep yang dikenal sebagai integrasi teologis. Konsep ini berusaha mencari implikasi telogis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”[18].
Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandanga dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’ apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun[19]. Ilmu sebagaimana agama mempunyai aspek kepercayaan (Fiduciary). Tanpa unsur kepercayaan ini, ilmu tidak memiliki rangsangan untuk mengupayakan kebenaran[20]. Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu.

6.      INTEGRASI ILMU DAN AGAMA PERSPEKTIF MULLA SADRA
Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mulla Shadra mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontology dan epistemologi yang menunjukan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:

1.       Tauhid (Keesaan Allah)
Keesaan Allah adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam konsep ini berimplikasi pada kesatuan ciptaan yakni keterhubungan bagian-bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tapi bukan saja menjadi kerangka keimanan yang menjadi dasar keyakinan umat Islam kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran yang membangun integritas kebenaran. Pandanga tauhid ini didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu:

ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd  
   Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia”.(Q.S.2:163). 
 ôMs9$s% óOßgè=ßâ Îûr& «!$# A7x© ̍ÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur  
Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Q.S.14:10).
Pandangan uniter dalam keilmuan diyakini oleh ilmuwan muslim sejak masa lampau. Mereka tidak mengutamakan satu bidang ilmu atas yang lain, namun satu ilmu selalu terkait dengan bidang ilmu yang lain. Akan tetapi, dewasa ini hampir-hampir tidak terjadi dialog antara ilmu terutama ilmu alam dan ilmu sosial humaniora.
2.       Keyakinan pada realitas Adikodrati dan keterbatsan pengetahuan manusia.
Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kaian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78).
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s?  
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu agar tidak  mengalami pemahaman yang salah. Sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an[21] (6:50)
@è% Hw ãAqè%r& óOä3s9 ÏZÏã ßûÉî!#tyz «!$# Iwur ãNn=ôãr& |=øtóø9$# Iwur ãAqè%r& öNä3s9 ÎoTÎ) î7n=tB (
÷bÎ) ßìÎ7¨?r& žwÎ) $tB #Óyrqム¥n<Î) 4 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o 4yJôãF{$# 玍ÅÁt7ø9$#ur 4 Ÿxsùr& tbr㍩3xÿtGs?  
Aritinya:Katakanlah (Muhammad) aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)

Dua ayat tersebut menegaskan keyakinan bahwa ada realitas yang adikodrati yang menguasai, memberikan sarana dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian tidak semua ilmu dapat dikuasai manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.
3.       Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan
Dalam pandangan Al-Qur’an , Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Sebagaimana yang diungkap dalam firman-Nya, (Q.S. 38: 27).
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4
y7Ï9ºsŒ  `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx. z`ÏB Í$¨Z9$# 
Artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.

       Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengan konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115)[22]. Pemahaman Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
4.       Komitmen pada nilai-nilai moral
Komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist dijelaskan  bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an:
Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S.62:2). Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Diantara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.

7.      INTEGRASI ONTOLOGI ILMU DAN AGAMA
Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membincang masalah ‘yang ada’, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut sebagai Filsafat Pertama[23].
Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustail ada, mungkin ada dan wajib ada. Yang dimaksud dengan ‘mustahil ada’ adalah sesuatu yang keberadaannya bersifat mustahil, yang tidak ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Adapun ‘mungkin ada’ adalah sesuatu yang keberadannya bersifat mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak ada. Keberadaan sesuatu yang mungkin ini sangat bergantung pada sesuatu yang menjadi penyebab keberadaanya. Misalnya ‘kursi’ akan ada bila terdapat kayu atau besi yang meminjam pandangan Aristoteles menjadi sebab bahannya (kausa material), terdapat sebab bentuk (kausa formal), terdapat subjek manusia yang merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (sebab efisien), serta ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk (kausa final). Sedangkan ‘wajib ada” adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada tidak karena sesuatu yang lain namun justru menjadi penyebab  atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Pandangan ontologi Mulla Shadra dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud. Dalam khasanah pemikiran Islam diantara tema-tema matafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problem wujud ini.
Konsep wujud (mafhum wujud) digambarkan seperti pemahaman atas pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu ada”. Setiap orang dengan segera akan memahami pernyataan tersebut tanpa melalui refleksi yang mendalam karena terjadi secara natural dan spontan. Sesorang tidak perlu belajar untuk dapat memahami pernyataan tersebut. Akan tetapi tidaklah mudah untuk memahami realitas wujud (hakikat wujud) karena sedemikian jelasnya konsep ini. Analoginya bahwa wujud sedemikian terangnya seperti matahari oleh karena demikian terangnya sehingga tidak mungkin dapat dilihat. Konsep wujud Mulla Shadra terdiri atas tiga prinsip yang mendasar, yaitu: Wahdah Al-Wujud, Taskik Al-Wujud dan Asalah Al-Wujud.
1.      Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud)
Pandangan wahdah al-wujud ini diadopsi Mulla Shadra dari konsep mistisme yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, wahdah al-wujud adalah pilar utama pemikiran Ibnu Arabi sehingga banyak pemikir selalu mengosiasikan wahdah al-wujud dengan tokoh ini. Ibnu Arabi berpendapat bahwa rasio meiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan bawah dan kekuatan atas.
Kekuatan bawah berhubungan dengan panca indera dan pikiran. Kekuatan ini tidak dapat menacapai dzat dan sifat Allah. Adapun kekuatan atas merupakan akal murni, pemeberian dari al-Haqq karena ma’rifat kepada-Nya. Penyingkapan (kasf) menurut Ibnu Arabi adalah satu-satunya cara untuk mencapai ma’rifat hakiki[24]. Dalam konsep hubungan antara Allah dan manusia menurut Ibnu Arabi adalah hubungan antara Khaliq dan makhluk. Manusia sempurna tidak akan mengklaim bahwa dirinya memiliki bau ketuhanan dan tidak mengatakan seperti “Aku adalah al-Haqq ”, melainkan mengaku sebagai hamba sejati yang mendekatkan diri kepada Pencitnya dengan penuh kerendahan diri. Hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan.
2.      Tasykik al-Wujud (Gradasi wujud)
Tasykik mengandung arti menjadi “lebih atau kurang” atau menjadi “lebih atau kurang”. Dari pengertian ini, keadaan berbagai hal yang mengandung ciri-ciri lebih dulu atau lebih kemudian, lebih sempurna atau tidak lebih sempurna, lebih kuat atau lebih lemah. Prinsip ini menyatakan bahwa meskipun wujud merupakan suatu realitas tunggal yang pada dasarnya adalah sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada adalah penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal terebut,namun ia juga menjadi prinsip pembeda[25]. Ada dua proposisi yang mengandung prinsip tasykik al-wujud. Pertama, bahwa wujud merupakan sifat umum yang secara aquivokal menyifati seluruh yang ada (prinsip persamaan). Kedua, bahwa secara univokal realitas hanya menjadi wujud semata (prinsip pembedaan).
Karakter  wujud yang demikianlah yang memungkinkan terjadinya gerak evolusioner. Mulla Shadra mengakui prinsip ketunggalan wujud, namun dalam wujud yang tunggal tersebut sesungguhnya memiliki gradasi atau tingkatan. Mulla Shadra juga mengembangkan prinsip iluminasi  dari Syuhrawardi tetapi memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Kalau Syuhrawardi memandang bahwa gradasi ini terjadi pada mahiyah (kuiditas), Shadra memahaminya pada wujud. Salah satu sumbangsih Mulla Shadra yang sangat berharga dalam bidang ontologi adalah konsepnya tentang gerak substansial (Al-Harakah Al-Jauhariyah). Konsep ini menyatakan bahwa: Pertama, tingkat-tingkat wujud tidaklah tetap dan statis tetapi terus bergerak mencapai bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi secara terus-menerus. Kedua, wujud dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi. Ketiga, gerak alam semesta yang tidak dapat dibalik (satu arah) berakhir pada manusia sempurna yang menjadi anggota alam ketuhanan dan bersatu dengan sifat-sifatnya. Keempat,  masing-masing tangga wujud yang lebih tinggi meliputi dan melampaui semua tangga yang lebih rendah. Dengan kata lain, realitas sederhana adalah segala sesuatu, yakni semakin tinggi realitas, semakin sederhana dan semakin meliputi. Kelima, semakin tinggi tingkat wujudnya semakin sedikit esensinya.
Bagi ketiga tokoh ini jiwa dan raga merupakan dua hal yang terpisah. Plato berpandangan bahwa jiwa ada sebelum tubuh, setalah tubuh ada jiwa bergabung dengannya. Aristoteles dan Ibnu Sina barpandangan bahwa jiwa dan raga tercipta secara serentak dalam waktu yang sama. Descartes berpendapat bahwa terdapat dinding pemisah antara jiwa dan raga, bahkan dikatakan jiwa terpenjara di dalam tubuh.
Mulla Sadra berpendapat bahwa tubuh akan berubah menjadi ruh (murni) dalam proses penyempurnaan. Ruh bukanlah sesuatu selain dari keseluruhan tubuh itu sendiri. Tidak ada pertentangan diantara keduanya. Tidak ada dualism dan tidak ada penyatuan, yang ada adalah penyempurnaan. Seperti kaidah “al-nafs jismaniyyah al-hudust al-baqa’ (jiwa bermula secara material dan berkelangsungan secara spritual)[26].
3.      Asalah al-Wujud (kehakikatan wujud)
Konsep Asalah telah memunculkan persoalan dokotomis antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (kuiditas). Pertanyaan yang muncul adalah diantara wujud dan mahiyah, manakah yang benar-benar real secara fundamental. Murtadha Muthahhari, menunjukkan ada empat pandangan dalam masalah ini, yaitu:
a.       Wujud adalah penampakan (appearance) yang tidak hakiki (real). Pandangan ini dipegang teguh oleh syaikh Al-Isyraq Suhrawardi.
b.      Wujud adalah kenyataan hakiki yang manunggal, tidak ada kemajemukan sama sekali di dalamnya. Pandanga ini banyak dianut oleh kalangan arif.
c.       Wujud adalah kenyataan hakiki yang majemuk, eksistensi setiap maujud merupakan realitas yang berbeda dengan maujud-maujud lain. Pandangan ini diduga dianut oleh kaum peripatetik, meskipun deugaan ini diragukan oleh Murtadha Muthahhari.
d.      Wujud adalah kenyataan hakiki yang sekaligus bersifat manunggal dan majemuk, wujud merupakan realitas bergradasi dengan derajat yang beragam. Pandangan ini didasarkan pada para pemikir pahlawi dari Iran kuno
Mulla Sadra berpandangan bahwa setiap wujud kontingen atau mungkin (mumkin al wujud) terdiri atas dua pola perwujudan, yaitu eksistensi dan kuiditas. Diantara dua pola ini yang benar-benar real adalah wujud, sedangkan mahiyah tidak lebih daripada penampakan (I’tibar) belaka. Pandangan Sadra ini bertolak belakang dengan pandangan gurunya, Mir Damad, demikian juga Suhrawardi yang memahami mahiyah sebagai realitas yang mendasar (asalah al-mahiyah).
Mulla Sadra Sebagai penggagas prinsip asalah al-wujud, mempunyai pandangan sebaliknya dari Suhrawardi. Kalau Suhrawardi menyatakan bahwa wujud tidak terkait dengan realitas apapun di dunia eksternal, Mulla Sadra berpandangan bahwa tidak ada yang benar-benar real kecuali wujud. Wujud tidak dapat dipahami oleh pikiran secara konseptual dan ide-ide umum, sebagaimana mahiyah yang memang hanya muncul dalam pikiran sebagai fenomena mental belaka, tidak mengada per se. wujud adalah realitas primordial, yang dengannya sesuatu yang lain menjadi ada. Wujud tidak memerlukan wujud yang lain agar teraktualisasi sebab wujud pada dirinya sendiri adalah aktualisasi itu sendiri. Oleh karenanya meskipun jelas keberadaannya namun   tidak mudah dipahami, hal ini sebagaimana dikatakan Mulla Sadra:
semua gagasan yang timbul dari pengalaman kita tentang dunia eksternal dan yang sepenuhnya ditangkap oleh pikiran, maka esensi mereka tersimpan dalam pikiran meskipun mode wujud mereka tersimpan dalam pikiran, tetapi karena hakikat wujud di luar pikiran dan segala sesuatu yang hakikatnya di luar pikiran tidak mungkin masuk ke dalam pikiran, atau juga hakikatnya akan benar-benar ditransformasikan, karenanya wujud tidak dapat secara konseptual diketahui oleh pikiran
     Dalam khasanah pemikiran islam, Mulla Sadra dikenal sebagai penganut eksistensialisme (wujudiyah), namun tentu eksistensialisme berbeda dengan eksistensialisme Barat yang dikembangkan oleh Kierkegaard, Jean Paul sarte, Heidegger. Eksistensialisme Barat sebenarnya tidak berbicara persoalan yang terkait dengan eksistensi itu sendiri, mereka hanya berbicara persoalan yang terkait dengan eksistensi manusia setelah materialisme dan idealisme gagal memahaminya. Sementara eksistensialisme Sadra berusaha mengungkap realitas ‘ada’ yang sebenarnya hingga menemukan konsep tentang The Ultimite reality.  Oleh karenanya eksistensialisme Sadra sangat teistik sedang eksistensialisme Barat lebih ateistik karena menjadikan manusia sebagai pusat eksistensi.
     Berdasarkan atas konsep Mulla Sadra tentang kesatuan Wujud maka jelaslah bahwa secara ontologis hubungan ilmu dan agama adalah integrative, yaitu merupakan satu kesatuan wujud. Ilmu dan agama adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, keduanya menyatu dalam satu realitas wujud. Namun, dalam kesatuan realitas tersebut ilmu dan agama juga bersifat gradatif, memiliki tingkatan-tingkatan wujud. Persoalan kemudian adalah tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan realitas wujud itu. Untuk menjawab pertanyaan ini pendekatan yang dapat digunakan adalah solusi yang diajukan Mulla Sadra dalam menjawab perselisihan pandangan antara mu’tazilah dan Asy’ariyyah tentang hubungan Al-qur’an dengan Allah[27].
    













PENUTUP
C.     Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut bersal dari Yang satu. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berfikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu.
2.      Ragam integrasi antara sains dan agama merupakan salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik  (conflict), perpisahan (independence), dialog - perbincangan (dialogue), dan integrasi-perpaduan (integration.).
3.      Integrasi teologis. Konsep ini berusaha mencari implikasi telogis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”. John F. Haugat. menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandanga dasar agama tentang realitas.
4.      Beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah: keesaan Allah (tauhid), keyakinan pada realitas dan keterbatasan pengetahuan manusia, keyakinan pada alam yang memiliki tujuan, komitmen pada nilai-nilai moral.
5.      Berdasarkan atas konsep Mulla Sadra tentang kesatuan Wujud maka jelaslah bahwa secara ontologism hubungan ilmu dan agama adalah integrative, yaitu merupakan satu kesatuan wujud. Ilmu dan agama adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, keduanya menyatu dalam satu realitas wujud.




DAFTAR RUJUKAN

Acikgenc Alparslan, 1993, Being and Existence in Sadra and Heidegger, International Institute of Islamic Thouhgt and Civilization, Kualalumpur.

Abidin Bagir ,Zainal, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama Interprestasi dan Aksi, MYIA-CRCS dan Suka Press, Yogyakarta.

Abdul Mujib, Muhaimin, Jusuf Mudzakkir,2005, KawasaN dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana.

Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010,  Integrasi Ilmu Agama Perspektif filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta, Penerbit Lima

Bagus Loren, 1991, Metafisika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mulyono Bashori,2010 , Ilmu Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka Sayid Sabiq.

Depertemen Agama RI edisi tahun 2002, al-Qur’an dan Terjemahnya, CV.Penerbit J-ART, Bandung.

Hady, Samsul, 2007, Peta pemikiran pada masa rainaisans islam, dalam Lutfi Mustafa dan Helmi Syaifuddin (editor), Intelektual Islam, melacak akar integrasi Ilmu dan Agama, LKQS & UIN Malang, Malang.

Hilal Ibrahim, 2002, Tasawuf antara Agama dan Filsata, Pustaka Hidayah, Bandung.
Haught, Jonhn F.,2004, Science and Religion: From conflict to Conversation, terjemahan  Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama:dadri konflik ke dialog, Mizan, Bandung.

Watt, Montogomery, The influence of islam on medivel Europe, terjemahan Hendro P, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh islam atas eropa abad pertengahan, Gramedia, Jakarta,



[1]Badan Penerbitan Filsafat UGM, Integrasi Ilmu Agama Perspektif filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta, Penerbit Lima, 2010, 33
[2] Drs. Bashori, Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka sayid sabiq, 2010, 10
[3] Op cit: 34.
[4] Drs. Bashori, Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Jawa Barat, Pustaka sayid sabiq, 2010, 25
[5] Prof. Dr. Muhaimin, Dr. Abdul Mujib, Dr. Jusuf Mudzakkir, KawasaN dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana, 2005, 31
[6] Prof. Dr. Syamsul Arifin, kumpulan materi Filsafat Ilmu Integrasi Islam dan Sain, 36
[7] Ibid, 37
[8] Montogomery Watt, The influence of islam on medivel Europe, terjemahan Hendro P, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh islam atas eropa abad pertengahan, Gramedia, Jakarta, 122
[9] Disarikan dari Samsul Hady, Peta pemikiran pada masa rainaisans islam, dalam Lutfi Mustafa dan Helmi Syaifuddin (editor), Intelektual Islam, melacak akar integrasi Ilmu dan Agama, LKQS & UIN Malang, Malang 2007
[10] A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam, George Allen dan Unwin Ltd, London, 1956, 106
[11] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers? 2000, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002), 44
[12] Ian Barbour, When Science Meets Relegion, 54
[13] Ian Barbour, When Science Meets Relegion, 44
[14] Teori yang mengatakan bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari
[15] John F. Haught, Science and Religion: from conflict to Conversation, terjemahan Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama: dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, 2004, 7-9
[16] Ibid, 13
[17] Ian Barbour, When Science Meets Relegion, 44
[18] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama Interprestasi dan Aksi, MYIA-CRCS dan Suka Press, Yogyakarta, 2005, 21
[19] Ibid, 21-23
[20] Jonhn F. Haught, Science and Religion: From conflict to Conversation, terjemahan Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sain dan Agama:dadri konflik ke dialog, Mizan, Bandung, 2004, 28
[21] Depertemen Agama RI edisi tahun 2002, al-Qur’an dan Terjemahnya, CV.Penerbit J-ART, Bandung, 2002
[22] Ibid,
[23] Loren Bagus, Metafisika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, 19
[24] Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsata, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, 142
[25] Alparslan Acikgenc, Being and Existence in Sadra and Heidegger, International Institute of Islamic Thouhgt and Civilization, Kualalumpur, 1993, 130
[26] Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’a, jilid 1, Taheran, 1387 H, 65
[27] Sadra, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an adalah ciptaan yang terpisah dengan Penciptanya, sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya, bahwa Al-qur’an merupakan tindakan abadi Allah oleh karenanya ada dalam atau identik dengan diri-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar