ISLAM INKLUSIf PLURALIS
Agama yang
diharapkan membawa missi rahmatan bagi seluruh alam tidak lagi menunjukkan
peranannya secara signifikan. Hal ini boleh jadi karena paham keagamaan
tersebut telah terkontaminasi oleh berbagai kepentingan politik, ekonomi,
budaya dan lain sebagainya. Kini paham keagamaan dipandang perlu untuk
direkonstruksi kembali, dengan mengedepankan semangat kebersamaan dan rahmat
bagi seluruh alam. Salah satu diantaranya adalah paham ke-islaman yang bercorak
inklusif pluralis.
Kata inklusif
berasal dari bangsa Inggris, inclucive yang berarati sampai dengan dan
termasuk. Demikian pula kata pluralis juga berasal dari bahasa inggris, plural
yang berarti jamak atau banyak. Inklusif pluralis selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan paham keberagamaan yang didasrkan pada pandangan bahwa agama- agama
lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat
memberikan manfaat serta kesalamatan bagi penganutnya.
Pandangan
inklusisf pluralis tersebut secara filosofis teorirtis dapat di jumpai dalam
kajian ilmu perbandingan agama. Dalam hubungan ini Schuon misalnya
mengatakan bahwa dalam kenyataannya tidak ada bukti-bukti yang mendukung
pernyataan bahwa kebenaran unik dan khusus hanya dimiliki agama tertentu saja.
Temuan lain
dalam itu Huston Smith mengatakan bahwa pernyataan keselamatan merupakan
monopoli dari salah satu agama saja sebenarnya sama saja dengan mengtakan bahwa
tuhan hanya di temukan dalam ruangan ini saja dan tidak ada di ruangan sebelah
atau hanya dalam busana saja, dan tidak ada dalam busana lain. Hal ini kemudian
dikemukakan Alwi Shihab bahwa keragaman yang inklusif pluralis harus dibedakan
dengan kosmopolitannisme, relativisme dan sinkritisme.
Kosmopolitanisme
adalah hal yang menunjuk kepada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras dan suku
bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.misalnya kota Newyork, kota ini adalah kota kosmopolitan di mana di kota ini terdapat orang Yahudi, Nasrani,
Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang yang tanpa agama sekalipun.
Relativisme
adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai di temukan
oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakatnaya.
Sebagaimana akibatnya maka doktrin agama apa pun harus dinyatakan dengan benar.
Selanjutnyta
inklusif pluralis bukan pula sinkritisme, yakni menciptakan suatu agama
harus dengan memadukan unsur-unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk di jadikan
bagian integral dari agama baru resebut.
Dengan
demikian yang perlu digariskan adalah apabila konsep inklusif pluralis hendak
diterapkan di banggsa kita , maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu
kometmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Dengan pandangan keberagaman
yang inklusif-pluralis, maka akan terjadi dialog antara agama-agama. Baik
muslim maupun agama lainnya berkewajiban menegakkan agama masing-masing.
Dialog ini
tidak lebih dari sebuah pendidikan dalam pengertian yang paling luas dan paling
mulia. Jika kita bukan seorang yang fanatik, maka konsekuensi dialog tersebut
tidak lain akan memeperkaya bagi setiap pelakunya.
Paham ke-
islaman inklusif- pluralis sebagaimana digambarkan di atas, hingga saat ini
masih diperdebatkan, atau tegasnya masih mendapat tantangan dari paham
ke-islama yang eksklusif, simbolistik, formalistic- legalistic. Yaitu paham
yang tidak mengakui ke-beragaman agama lain sebagai yang memiliki kebenaran dan
pangakuanm terhadap Tuhan, serta dengan lebih mengutamakan mereka yang bersifat
lahiriah dan menuntut orang lain harus menggunakan istilah-istilahyang terdapat
dalam agama lain.
Para mufassirin kalsik mengomentari tentang islam inkusif
pluralis dengan berlandaskan pada Al-qur’an(Al- Imran :85) dan Al- Imran: 19. Barang
siapa yang mencari agama selain islam , maka seali-kali tidak akan diterim, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Sesungguhnya agama( yang di
ridhai) disisi Allah hanyalah islam.
Para mufassirin maengalami kesulitan dalam menafirkan hal
ini, karena ayat diatas betentangan dengan Al-qur’an surat al- Baqarah ayat 62(lih, Qur’an) . al-
Thabari memberikan inspirasi kepada para ahli tafsir, bahwa jaminan kesalamatan
dari Allah tersebut harus baesyaratkan tiga hal:
a.
Beriman kepada Allah
b.
Percaya kepada hari akhir
c.
Berbuat baik
Muhammad Abduh
mengatakan bahwa syarat pertama untuk mendapatkan kesalamatan di akhirat, yakni
beriman kepada Allah tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara islam
yang di bawa oleh Nabi Muhammad.
Sementara itu,
Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ridha
mengakui bahwa keimanan yang sejati kepada Allah dapat juga di temukan di luar
islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad.
Paham islam
Inklusif-Pluralis sebenarnya sudah lama berkembang di Indonesia.
Paham ini banyak di jumpai pada kalangan mordenis, seperti Nurkholis Madjid,
Alwi Shihab dan lain-lain. Dalam hal ini Nurkholis mengatakan bahwa islam sendiri
adalah agama kemanusiaan, dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan kecendrungan
alami manusia yang menurut fittrahnya bersifat abadi (perennial).
Salah satu
fitrah Allah yang pernnial itu ialah bahwa manusia akan tetap selalu
berbeda-beda sepanjang masa. Dalam ini kita tidak mungkin membayangkan bahwa
manusia adalah satu dan sama dalam segala hal sepanjang masa. Dalam hal ini
kita tak dapat mungkin membayangkan bahwa manusia adalah satu dan sama dalam
segala hal sepanjang masa.
Sejalan dengan
pemikiran tersebut, maka adnya perbedaan agama tidak mungkin dihindarkan, dan
perbedaan tersebut harus disikapi dengan penuh kedewasaan di atas landasan jiwa
persaudaraan, penuh pengertian , tenggangrasa dan kasih sayang. Upaya
menumbuhkan rahmat dalam perbedaan agama tersebut lebih lanjut dapat ditemukan
dalam filsafat perenial.
Filsafat
perennial dalam pembicaraan kita ini tidak di pahami sebagai paham atau
filsafat yang berpandangan yang sama sekali tidak menghormati religiutas yang particular. Akan tetapi filsafat
pernnial yang berpandangan bahwa kebenaran Mutlak hanyalah satu, tidak terbagi
, tetapi dari Yang satu ini memancar berbagai kebenaran sebagaimana matahari
yang secara niscaya mamancarkan cahayanya. Filsafat perennial lebih menekankan
diminsi subtansial, transcendental yang bersifat absolut dari suatu agama,
namun mementingkan pula aspek realitas dan empiris dari suiatu agama yang
muncul dalam bentuknya yang amat pluralistic sepanjang yang pluralistik ini
tidak untuk dipertentang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar