AHLI KITAB DALAM AL-QUR'AN
(Model Penafsiran Fazlur Rahman)[1]
Sekilas tentang Fazlur Rahman
Rahman lahir
pada 1919 di Pakistan.
Beberapa pemikir juga muncul dari daerah ini, seperti Syeh Waliyullah al-
Dahlawi, Syayid Ahmad Khan, Amir Alidan, Muhammad Iqbal. Karena itu tidak
diherankan kalau Rahman berkembang menjadi pemikir yang bebas. Meskipun dia
dibesarkan dikeluarga yang bermazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang bercorak
rasionalis, karena lebih menggunakan Ra'yu dari pada riwayat (Hadits), bila
dibangdingkan dengan mazhab lainnya , Maliki, Syafi'islam dan Hambali, tetapi
sejak belasan tahun, Rahman melepaskan diri dari ikatan Mazhab-Mazhab sunni dan
menegmbangkan pemikirannya secara bebas.
Di belajar
agama dari ayahnya yang berasal dari Deoband, sebuah madrasah terkenal di anak
benua Indo- Pakistan. Setelah menamatkan
pendidikan menengah, dia melanjutkan studinya di departemen ketimuran
Univercity Punjab, Lahore dan memperoleh gelar M.A, pada 1946 Rahman memutuskan
untuk mengambil program Doktor di Univercity Oxford, Inggris dalam bidang
filsafat Islam dengan gelar Ph.D.
Setelah
mnegembara cukup lama dengan barat. Rahman kembali kenegaranya di awal tahun
60-an. Pendidikan formal yang didapatkan di barat serta pengalaman akademisnya
selama bertahun-tahun di berbagai Universitas di Barat dan latar belakang
libralisme di Indo-Pakistan membuatnya menjadi pemikir bebas, kritis dan
radikal.
Rahman dan Problem Pemahaman
Al-qur'an
Bagi Rahman, problem studi Al-qur'an adalah problem
pemahaman, bukan problem keaslian. Berbeda dengan para orientalis, seperti
Ricard Bell
yang mencari unsur-unsur Kristen dalam Al-qur'an dan John Wansbrough yang
berpendapat bahwa Al-qur'an adalah sebuah kitab yang dipengaruhi tradisi yahudi
(ala tradition Juive). Rahman sama sekali tidak mempermasalahkan tentang
otentisitas Al-qur'an.
Tidak mempersoalkan otentisitas Al-qur'an berarti secara
total sudah mengakui bahwa Al-qur'an adalah sebuah kitab yang otentik. Dan
Rahman, seperti orang-orang islam pada umumnya, memang mengakui dan meyakini
bahwa Al-qur'an adalah kalam Ilahi yang di wahyukan kepada Muhammad. Walaupun,
ia sendiri secara tegas mengatakan bahwa Al-qur'an dalam arti kata yang biasa
adalah ucapan Muhammad.
Menurutnya, yang penting bagaiman memahami Al-qur'an
dengan metode yang tepat untuk mengungkap kandungan Al-qur'an, karena dalam
kenyataannya, Qur'an itu laksana puncak gunung es yang terapung, sembilan
persepuluh darinya yang tampak dipermukaan. Karena itulah untuk memahami Qur'an
harus mengetahui sejarah Nabi dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh
tiga tahun, dan juga harus memahami situasi dan kondisi bangsa Arab pada awal
islam serta kebiasaan, pranata-pranata dan pandangan hidup orang Arab.
Untuk membuat islam selalu relevan dengan lingkungan
spesifik pada saat sekarang ini, orang-orang muslim harus mengatasi penafsiran
Qur'an trdisional dan harfiyah serta beralih kepemahaman akan sepirit Qur'an.
Dalam Islam dan Modernity, Rahman menawarkan dua
langkah untuk memehami Qur'an. Pertama, orang harus memahami makna
pernyataan qur'an dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat di
turunkan. Kedua, menggeneralisasikan respon-respon khusus dan menyatakan sebagai
pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari ayat-ayat
spesifik dan rasio legisnya.
Qur'an,
menurut Rahman, betul-betul menolak sikap eksklusif dalam beragama. Kektika
seorang yahudi dan Kristen mengklaim hanya diri merekalah yang memperoleh
petunjuk tuhan dan akan masuki surga, Qur'an menjawab secara tegas dengan
menyatakan bahwa petunjuk dan keselamatan bukanlah milik kaum-kaum tertentu,
tetapi milik Tuhan. Petunjuk bukanlah milik kaum tertentu, tetapi milik
orang-orang saleh. Ini di gambarkan Qur'an ketika Tuhan hendak mengangkat Nabi
Ibrahim menjadi pemimpin umat manusia dan Ibrahim bertanya, bagaimana nasib
anak cucunya, apakah mereka akan diangkat menjadi pemimpin umat manusia. Dengan
tegas Tuhan menjawab " Ke dalam janjiku, tidak tercakup orang-orang
aniaya".
Kalau eksklusif dari kalangan Yahudi dan Kristen serta
permintaan Ibrahim agar anak cucunya diangkat sebagai pemimpin manusia di tolak
oleh Qur'an, maka demikian juga, Islam tidak berhak mengklaim bahwa hanya
pemeluknyalah yang akan memperoleh keselamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar