Senin, 07 Oktober 2013

MODEL PENAFSIRAN RAHMAN TERHADAP AL-QURAN



AHLI KITAB DALAM AL-QUR'AN
(Model Penafsiran Fazlur Rahman)[1]
Sekilas tentang Fazlur Rahman
Rahman lahir pada 1919 di Pakistan. Beberapa pemikir juga muncul dari daerah ini, seperti Syeh Waliyullah al- Dahlawi, Syayid Ahmad Khan, Amir Alidan, Muhammad Iqbal. Karena itu tidak diherankan kalau Rahman berkembang menjadi pemikir yang bebas. Meskipun dia dibesarkan dikeluarga yang bermazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang bercorak rasionalis, karena lebih menggunakan Ra'yu dari pada riwayat (Hadits), bila dibangdingkan dengan mazhab lainnya , Maliki, Syafi'islam dan Hambali, tetapi sejak belasan tahun, Rahman melepaskan diri dari ikatan Mazhab-Mazhab sunni dan menegmbangkan pemikirannya secara bebas.
Di belajar agama dari ayahnya yang berasal dari Deoband, sebuah madrasah terkenal di anak benua Indo- Pakistan. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia melanjutkan studinya di departemen ketimuran Univercity Punjab, Lahore dan memperoleh gelar M.A, pada 1946 Rahman memutuskan untuk mengambil program Doktor di Univercity Oxford, Inggris dalam bidang filsafat Islam dengan gelar Ph.D.
Setelah mnegembara cukup lama dengan barat. Rahman kembali kenegaranya di awal tahun 60-an. Pendidikan formal yang didapatkan di barat serta pengalaman akademisnya selama bertahun-tahun di berbagai Universitas di Barat dan latar belakang libralisme di Indo-Pakistan membuatnya menjadi pemikir bebas, kritis dan radikal.

Rahman dan Problem Pemahaman Al-qur'an
            Bagi Rahman, problem studi Al-qur'an adalah problem pemahaman, bukan problem keaslian. Berbeda dengan para orientalis, seperti Ricard Bell yang mencari unsur-unsur Kristen dalam Al-qur'an dan John Wansbrough yang berpendapat bahwa Al-qur'an adalah sebuah kitab yang dipengaruhi tradisi yahudi (ala tradition Juive). Rahman sama sekali tidak mempermasalahkan tentang otentisitas Al-qur'an.
            Tidak mempersoalkan otentisitas Al-qur'an berarti secara total sudah mengakui bahwa Al-qur'an adalah sebuah kitab yang otentik. Dan Rahman, seperti orang-orang islam pada umumnya, memang mengakui dan meyakini bahwa Al-qur'an adalah kalam Ilahi yang di wahyukan kepada Muhammad. Walaupun, ia sendiri secara tegas mengatakan bahwa Al-qur'an dalam arti kata yang biasa adalah ucapan Muhammad.
            Menurutnya, yang penting bagaiman memahami Al-qur'an dengan metode yang tepat untuk mengungkap kandungan Al-qur'an, karena dalam kenyataannya, Qur'an itu laksana puncak gunung es yang terapung, sembilan persepuluh darinya yang tampak dipermukaan. Karena itulah untuk memahami Qur'an harus mengetahui sejarah Nabi dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, dan juga harus memahami situasi dan kondisi bangsa Arab pada awal islam serta kebiasaan, pranata-pranata dan pandangan hidup orang Arab.
            Untuk membuat islam selalu relevan dengan lingkungan spesifik pada saat sekarang ini, orang-orang muslim harus mengatasi penafsiran Qur'an trdisional dan harfiyah serta beralih kepemahaman akan sepirit Qur'an.
            Dalam Islam dan Modernity, Rahman menawarkan dua langkah untuk memehami Qur'an. Pertama, orang harus memahami makna pernyataan qur'an dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat di turunkan. Kedua, menggeneralisasikan respon-respon khusus dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dan rasio legisnya.        
Qur'an, menurut Rahman, betul-betul menolak sikap eksklusif dalam beragama. Kektika seorang yahudi dan Kristen mengklaim hanya diri merekalah yang memperoleh petunjuk tuhan dan akan masuki surga, Qur'an menjawab secara tegas dengan menyatakan bahwa petunjuk dan keselamatan bukanlah milik kaum-kaum tertentu, tetapi milik Tuhan. Petunjuk bukanlah milik kaum tertentu, tetapi milik orang-orang saleh. Ini di gambarkan Qur'an ketika Tuhan hendak mengangkat Nabi Ibrahim menjadi pemimpin umat manusia dan Ibrahim bertanya, bagaimana nasib anak cucunya, apakah mereka akan diangkat menjadi pemimpin umat manusia. Dengan tegas Tuhan menjawab " Ke dalam janjiku, tidak tercakup orang-orang aniaya".
            Kalau eksklusif dari kalangan Yahudi dan Kristen serta permintaan Ibrahim agar anak cucunya diangkat sebagai pemimpin manusia di tolak oleh Qur'an, maka demikian juga, Islam tidak berhak mengklaim bahwa hanya pemeluknyalah yang akan memperoleh keselamatan.     


[1]  Disampaikan pada koms Syari'ah kajiaan harian sambil menunggu mahgrib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar